Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menakar Kerja Perda AIDS Provinsi Kalimantan Barat

24 November 2010   12:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:20 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Oleh Syaiful W. Harahap*

Catatan: Tulisan ini dimuat sebagai artikel Opini di Harian "Swara Kita", Manado, 20 Agustus 2009 (URL: http://www.swarakita-manado.com/index.php/berita-utama/16375-hivaids).

PEMPROV Kalimantan Barat (Kalbar) menjadi daerah ke-30 yang menelurkan peraturan daerah (Perda) penanggulangan AIDS melalui Perda No. 2 tanggal 15 Juni 2009 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS di Provinsi Kalimantan Barat. Sudah 30 daerah, provinsi, kabupaten dan kota yang sudah meneluarkan perda AIDS. Apa-kah penanggulangan dan pencegahan HIV/AIDS yang ditawarkan di perda-perda itu (bisa) bekerja? Sampai Maret 2009 Kalbar menempati peringkat keenam secara nasional dengan 730 kasus AIDS.

Gagasan menerbitkan perda untuk mendukung penanggulangan AIDS di Indonesia 'berkiblat' ke Thailand. Dikabarkan insiden infeksi HIV baru di kalangan dewasa di Negeri Gajah Putih itu mulai menurun melalui 'program wajib kondom 100 persen'. Muncul pemikiran untuk menerapkan hal yang sama di Indonesia. Dimulai di Kabupaten Nabire, Papua Barat, melalui Perda No 18 tahun 2003 yang disahkan tanggal 31 Januari 2003. Daerah-darah lain pun kemudian berlomba menelurkan perda penanggulangan AIDS.

Salah satu cara pencegahan yang ditawarkan dalam perda-perda AIDS adalah 'penggunaan kondom 100 persen'. Program ini di Thiland merupakan ekor dari serangkaian program penanggulangan yang komprehensif. Celakanya, perda-perda AIDS justru mencomot 'ekor' program Thailand menjadi 'kepala' program.

Mekanisme Kontrol

Program '100 persen kondom' bisa diterapkan di Thailand karena ada lokalisasi pelacuran dan rumah bordir. Sedangkan di Indonesia semua lokalisasi sudah ditutup. Bahkan, beberapa daerah membuat perda anti pelacuran, anti minuman keras, dan anti maksiat dengan penegakan hukum yang ketat, seperti razia terhadap pasangan-pasangan di losmen dan hotel melati. Sedangkan 'praktek pelacuran' yang menjadi salah salah satu pemicu penyebaran HIV tidak hanya terjadi di losmen dan hotel melati, tapi bisa saja terjadi di hotel berbintang, rumah, tempat kos, lapangan terbuka, dll.

Penerapan 'program 100 persen kondom' di Indonesia tidak bisa dijalankan karena tidak ada lokasi atau lokaliasi pelacuran dan rumah bordir. Salah satu alat kontrol program ini adalah pemeriksaan rutin terhadap pekerja seks yang bekerja di lokasi atau lokalisasi pelacuran dan rumah bordir. Jika ada pekerja seks yang terdeteksi mengidap IMS maka itu membuktikan ada pelanggan yang tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seks dengan pekerja seks. Pengelola akan ditindak secara bertahap sampai penutupan lokasi atau rumah bordir.

Dalam Perda AIDS Kalbar pada pasal 15 ayat 1 disebutkan: Pencegahan HIV dan AIDS bertujuan untuk melindungi setiap orang agar tidak tertular HIV dan tidak menularkan kepada orang lain yang meliputi: (b) Program Pemakaian Kondom 100% pada setiap hubungan seks berisiko. Dalam pasal 1 ayat 13 disebutkan: Perilaku Seksual Beresiko adalah perilaku berganti-ganti pasangan seksual tanpa menggunakan kondom.

Ada salah paham yang besar di Indonesia karena mengaitkan berganti-ganti pasangan dengan pelacuran yang juga disebut sebagai 'seks bebas' (istilah ini rancu karena merupakan terjemahan bebas dari free sex yang tidak dikenal dalam kosa kata Bahasa Inggris). Padahal, berganti-ganti pasangan pun bisa terjadi di dalam ikatan pernikahan yang sah (seperti kawin-cerai), perselingkuhan, 'kumpul kebo', kawin kontrak, dll.

Celakanya, lelaki 'hidung belang' biasanya tidak ganti-ganti pasangan karena mereka mempunyai langganan atau 'pacar' di kalangan pekerja seks. Karena tidak berganti-ganti pasangan maka mereka mengangap tidak berisiko. Ini terjadi karena selama ini yang disebut perilaku berisiko hanya 'melakukan hubungan seks dengan pasangan yang berganti-ganti'. Padahal, perilaku berisiko tertular HIV juba bisa terjadi jika melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks.

Pertanyaannya kemudian adalah: Bagaimana mengontrol kewajiban memakai kondom pada hubungan seks berisiko? Sayang dalam perda tidak ada mekanisme pengawasannya. Tentu saja tidak ada karena di Kalbar tidak ada lokalisasi dan rumah bordir yang 'resmi'. Maka, upaya untuk memutus mata rantai penyebaran HIV di masyarakat melalui program pemakaian kondom' ini pun tidak akan jalan.

Ketika Indonesia gencar mengadopsi program kondom ini di Thailand justru mulai terjadi kontra produktif terhadap program ini. Banyak lelaki 'hidung belang' yang membawa pekerja seks ke luar dari lokalisasi pelacuran atau rumah bordir sehingga mereka tidak lagi terikat dengan kewajiban memakai kondom.

Mendeteksi HIV

Pasal 15 ayat 1 huruf disebutkan: Pencegahan HIV dan AIDS bertujuan untuk melindungi setiap orang agar tidak tertular HIV dan tidak menularkan kepada orang lain yang meliputi: (e) Pelayanan Pencegahan Penularan dari ibu ke anak (PMTCT/Prevention Mother Transmittion to Child Transmission).

Pertanyaannya adalah: Bagaimana mekanisme mendeteksi HIV di kalangan ibu-ibu hamil? Dalam perda ini tidak ada cara yang ditawarkan. Pasal ini akan berguna jika ada mekanisme untuk mendeteksi HIV di kalangan ibu-ibu hamil. Malaysia, misalnya, menerapkan skrining rutin terhadap terhadap perempuan hamil.

Pada bagian ketujuh tentang pemutusan mata rantai penularan ditujukan kepada orang yang sudah mengetahui dirinya HIV-positif. Misalnya, pasal 20 ayat a disebutkan: Setiap orang yang telah mengetahui dirinya terinfeksi HIV dan AIDS wajib melindungi pasangan seksualnya dengan melakukan upaya pencegahan dengan menggunakan kondom. Persoalannya adalah lebih dari 90 persen orang-orang yang sudah tertular HIV tidak menyadarinya karena tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisiknya sebelum mencapai masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun setelah tertular HIV). Pada rentang waktu ini terjadi penyebaran HIV tanpa disadari oleh orang-orang yang sudah HIV-positif.

Lagi-lagi pada pasal 23 disebutkan: Setiap orang yang melakukan hubungan seks beresiko wajib melakukan upaya pencegahan yang efektif dengan cara menggunakan kondom. Kalau dikaitkan dengan pasal 1 ayat 13 maka tidak jelas kepada siapapasal ini ditujukan. Pasal ini akan bekerja jika berbunyi: Setiap orang yang melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah di wilayah Kalimantan Baratatau di luar Kalimantan Barat, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan wajib memakai kondom.

Salah satu cara yang efektif memutus mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antara penduduk adalah dengan mendeteksi kasus-kasus HIV di masyarakat dengan menambahkan pasal yang berbunyi: Setiap orang yang sudah pernah melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah di wilayah Kalimantan Barat atau di luar Kalimantan Barat, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan tidak memakai kondom diwajibkan menjalani tes HIV secara sukarela.

Orang-orang yang sudah tertular HIV di masyarakat yang belum terdeteksi akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal, al. melalui hubungan seks tanpa kondom, tanpa mereka sadari. Kasus HIV di masyarakat dapat dilihat dari deteksi di klinik VCT atau rumah sakit dan skrining darah donor di PMI.

Dibandingkan dengan perda-perda yang sudah ada Perda AIDS Kalbar selangkah lebih maju. Tapi, perda ini juga bisa mendorong stigmatitasi (pemberian cap buruk) dan diskriminasi (pembedaan perlakuan) terhadap Odha karena memasukkan 'iman dan taqwa' sebagai bagian dari kebijakan pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS (pasal 37 ayat i). Ini mengesankan orang-orang yang tertular HIV 'tidak beriman dan tidak bertaqwa'.

Perda ini juga merendahkan harkat dan martabat manusia dengan menyebutkan pelacur atau pekerja seks sebagai penjaja seks. Pekerja seks tidak menjajakan seks (diri). Yang mendatangi pekerja seks justru laki-laki. Maka, yang menularkan HIV kepada pekeja seks adalah laki-laki penduduk lokal atau pendatang yang dalam kehidupan sehari-hari ada yang sebagai suami, duda, lajang atau remaja. Laki-laki inilah yang justru menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat. Lagi-lagi tanpa mereka sadari.

Untuk itulah diperlukan penyuluhan yang terus-menerus dengan materi KIE yang akurat agar penduduk memahami cara-cara penularan dan pencegahan HIV sehingga mereka bisa menimbang-nimbang perilakunya. Pada akhirnya diharapkan penduduk yang menyadari perilakunya berisiko tertular HIV agar menjalani tes HIV secara sukarela. (Penulis adalah kontributor Swara Kita untuk berita-berita khusus kesehatan di Jakarta) ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun