Papua (d/h Papua Barat, kemudian disebut Irian Barat selanjutnyaIrian Jaya) kembali ke pangkuan ibu pertiwi berdasarkan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat), semacam referendum (menyerahkan penentuan tentang sesuatu kepada rakyat) tahun 1969. Nama Papua dikembalikan oleh Gus Dur semasa menjabat sebagai presiden.
Pandangan ‘miring’ terhadap Papua dengan sebutan primitif menggambarkan perlakuan terhadap daerah itu. Primitif adalah kondisi suatu masyarakat atau komunitas dengan pola hidup, tradisi dan teknologi yang tidak berubah. Tidak ada persoalan terkait dengan ke-primitif-an karena itu merupakan kearifan lokal.
Tapi, di masa Orde Baru masyarakat yang memegang tradisi disebut sebagai masyarakat terasing, terbelakang, dll. Maka, tangan pemerintah pun menjangkau komunitas itu melalui proyek.
Hasilnya? Beberapa suku atau komunitas yang dijadikan objek proyek justru merana. Suku Kubu di Jambi, misalnya, dipaksa tinggal di rumah agar hutan yang menjadi rumah mereka dibabat untuk keperluan perkebunan. Suku Laut dipaksa ke darat.
Padahal, jika disimak justru proyek itulah yang primitif karena melihat tradisi kehidupan masyarakat dengan kaca matanya sendiri.
Papua pun tidak luput dari ‘proyek primitif’. Sejak tahun 1960-an pemerintah mulai mengalihkan pemakaian koteka dengan celana.Pada tahun 1964 Gubernur Frans Kaisiepo menjalankan kampanye ‘antikoteka’. Puncaknya terjadi pada tahun 1971 dikenal sebagai ’Operasi Koteka’ yang digencarkan olehPangdam X, waktu itu, Brigjen Acub Zainal. Koteka adalahpenutup kemaluan laki-laki berbentuk lonjong panjang, terbuat dari buah labu yang dikeringkan, dipakai oleh beberapa suku di Tanah Papua.
Celakanya, operasi itu memaksa laki-laki menanggalkan koteka dan diganti dengan celana kain. Karena beberapa daerah sulit air mereka pun tidak mencuci celana sehingga menimbulkan penyakit kulit. Padahal, ada suku yang memakai koteka tapi sesekali mereka memakai celana kain.
Padahal, tidak ada yang salah dengan koteka jika dipandang dengan perspektif budaya. Tapi, karena pemerintah memakai sudut padang modern maka semua yang tradisional dihancurkan. Bahkan, ada kesan akan diseragamkan seluruh Indonesia.
Maka, amatlah tidak arif memaksa anak-anak di Papua memakai celana dan kemeja ke sekolah. Biarkan mereka memakai pakaian tradisional. Ketika (alm) Prof Dr Fuad Hassan menjabat sebagai Mendikbud (1985 - 1993) beliau selalu mengatakan bahwa pakaian seragam bukan bagian dari proses ajar-mengajar. Soalnya, banyak kasus anak-anak tidak bersokolah karena tidak mempunyai baju seragam, baju batik dan baju pramuka serta sepatu.
Jika anak-anak Papua bersekolah dengan pakaian tradisi mereka maka kekayaan budaya akan mewarnai kehidupan di negeri ini. Tapi, sekarang yang diwajibkan malah batik. Pakaian yang identik dengan (suku) Jawa.
Tuntutan untuk mengkaji ulang Pepera dan wacana untuk merdeka merupakan kata hati orang Papua. Yang bukan orang Papua boleh-boleh saja mencaci, menghujat atau mengejek aksi-aksi unjuk rasa rakyat Papua. Ini terjadi karena yang bukan orang Papua melihat aksi-aksi itu dengan sudut pandang, yaitu kaca mata nasionalisme.
Kalau saja kita memakai perspektif melihat aksi-aksi itu maka tanggapan yang muncul pun akan lain. Banyak ketidakadilan yang dihadapi Papua jika dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia. Mulai dari pembangunan sarana fisik yang lambat, pembangunan fasilitas pendidikan dan kesehatan, pelanggaran HAM, dll.
Dari aspek pembangunan fisik, seperti sarana transportasi, saja Papua jauh ketinggalan jika dibandingkan dengan daerah lain. Tidak semua kota di Papua dihubungan dengan jalur darat. Akibatnya, yang ada hanya jalur udara dengan konsekuensi tarif yang mahal. Tentu ini jauh dari jangkauan rakyat karena kemiskinan mendera daerah yang kaya dengan hutan dan tambang emas itu.
Ketika Aceh diberikan syariat Islam dan partai lokal, daerah lain dengan analogi yang sama, seperti agama dan suku, hanya bisa gigit jari. Kalau Aceh diberi izin menerapkan syariat Islam karena mayoritas penduduk Islam, tentulah Bali, NTT, Sulut, dan Papua juga berhak mendapatkan hukum yang khusus.
Ketika ada wacana berupa rancangan peraturan daerah yang akan menetapkan Manokwari, ibu kota Prov Papua Barat, sebagai kota Injil protes pun bermunculan. Tapi, ketika ada daerah yang melarang pembangunan gereja tidak ada protes.
Melihat kemiskinan yang mendera rakyat Papua, maka sudah saatnya pemerintah meningkatkan pembungan fisik di sana, terutama jalur transportasi darat. Jalur ini akan menghubungan semua kota di Papua sehingga bisa mendorong pertumbuhan ekonomi. Hasil bumi bisa dibawa dengan kendaraan bermotor dengan ongkos yang terjangkau.
Untuk membangun sarana fisik, pemerintah menjalankan program padat karya yaitu penduduk lokal sebagai pekerja. Selain mereka ikut membangun daerah sendiri mereka pun menerima imbalan berupa upah sesuai dengan standar upah minimum provinsi.
Rakyat Papua pun dihadapkan dengan ancaman kelaparan karena perubahan pola makan (Lihat: http://sosbud.kompasiana.com/2011/07/30/antisipasi-tragedi-kelaparan-di-tanah-papua/).
Jika kondisi Papua dibiarkan tetap ’alamiah’ dengan pembangunan ’ala kadarnya’, maka gejolak demi gejolak akan terus terjadi. Soalnya, rakyat Papua merasa ’tidak merdeka’ karena hasil bumi daerah itu tidak bisa dinikmati oleh penduduk asli. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H