Ketika sosialisasi kondom sebagai alat untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, digencarkan penolakan terhadap kondom pun kian gencar. Ini terjadi karena sosialisasi dipahami sebagai kondomisasi. Celakanya, kelangan yang kompeten tidak pernah menanggapinya dengan serius. Akibatnya, kondomisasi menjadi teminologi yang memasyarakat. Celakanya, kondomisasi diartikan sebagai program pemerintah untuk melegalkan pelacuran.
Program penanggulangan HIV/AIDS sudah saatnya digencarkan karena catatan Kemenkes RI menyebutkan sampai Desember 2010 sudah terdeteksi 24.131 AIDS dan 55.848 HIV. Faktor risiko (mode of transmission) utama adalah melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
PSK Tidak Langsung
Pemahaman yang tidak komprehensif tentang sosilisasi kondom di masyarakat terus bergulir. Pemerintah pun tidak memberikan pandangan yang komprehensif terkait dengan sosialisasi kondom. Bahkan, dalam berita “Kondom Gratis Buat Pekerja Seks Sulit Dibagikan” (detikHealth, 31/01/2011), misalnya, disebutkan: “Salah satu program pemerintah untuk memberantas HIV/AIDS adalah membagikan kondom gratis di lokasi-lokasi rawan peredaran virus.”
Pernyataan di atas lagi-lagi mengesankan risiko penularan HIV hanya ada di ‘lokasi-lokasi rawan peredaran virus’ yang di masyarakta diartikan sebagai tempat perzinaan, seperti lokasi atau lokalisasi pelacuran. Tentu ini menjadi sasaran empuk bagi kalangan yang menentang kondom karena program itu mereka lihat sebagai upaya melegalkan pelacuran.
Disebutkan pemerintah kesulitan membagikan kondom gratis untuk pekerja seks komersial (PSK). Ini juga rancu karena yang memakai kondom bukan PSK, tapi laki-laki ‘hidung belang’ yang melakukan hubungan seksual dengan PSK. Hubungan seksual dengan PSK tidak harus di lokasi atau lokalisasi pelacuran, tapi di sembarang tempat yang mereka jadikan sebagai tempat melakukan hubungan seksual. Di losmen, hotel melati dan hotel berbintang, kos-kosan, rumah, apartemen, taman, hutan, dll.
Risiko tertular HIV melalui hubungan seksual dengan PSK pun tidak hanya dengan PSK langsung (PSKdi lokasi dan lokalisasi pelacuran, trotoar, taman, dll.), tapi juga denan PSK tidak langsung (‘cewek bar’, ‘cewek disko’, ‘anak sekolah’, ‘mahasiswi’, ‘cewek SPG’, ‘ibu-ibu rumah tangga’, selingkuhan, WIL, dll.) serta dengan pelaku kawin cerai.
Risiko penularan HIV melalui PSK tidak langsung tidak bisa dianggap remeh karena di beberapa daerah ternyata ada adil PSK tidak langsung dalam penyebaran HIV (Lihat: a. http://edukasi.kompasiana.com/2010/11/26/andil-psk-tidak-langsung-dalam-penyebaran-hiv-di-denpasar/, b. http://sosbud.kompasiana.com/2010/10/18/aids-di-sulawesi-selatan-didorong-psk-tidak-langsung/, danc. http://edukasi.kompasiana.com/2010/11/05/dolly-ditutup-psk-tidak-langsung-merajalela-menyebarkan-aids/).
Lagi pula ada fakta yang selama ini digelapkan yaitu yang menularkan HIV kepada PSK sehingga ada kesan PSK-lah sebagai biang keladi penyebaran HIV.Laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, pacar, selingkuhan, lajang atau duda. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal di masyarakat. Tapi, fakta ini luput dari perhatian.
Dikabarkan pemerintah kesulitan membagikan kondom gratis kepada PSK karena banyak lokalisasi pelacuran yang dibubarkan. Lagi-lagi ini menggambarkan risiko penularan HIV (menularkan dan tertular) hanya ada dilokalisasi pelacuran. Ini membuat kalangan yang menentang kondom di atas angin. Padahal, risiko penyebaran HIV tidak hanya di lokalisasi.
Kalau saja paradigma sosialisasi kondom dibalik, artinya yang menjadi sasaran bukan PSK tapi laki-laki ‘hidung belang’ tentu akan lain hasilnya. Yang menjadi sasaran sosialisai kondom adalah mereka yang gemar melakukan hubungan seksual di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK langsung dan PSK tidak langsung.
Program kondom yang berhasil menurunkan insiden infeksi HIV baru di kalangan laki-laki dewasa dikembangkan oleh Thailand melalui program ‘wajib kondom 100 persen’ pada hubungan seksual di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir. Program ini dijalankan secara konkret karena ada mekanisme pengawasan yang masuk akal.
Berbeda dengan di Indonesia yang memakai program itu secara telajang sehingga hasilnya nol besar. Ini terjadi karena program ‘wajib kondom 100 persen’ di Thailand merupakan program kelima dari rangkaian program yang dijalanan secara sistematis. Sedangkan Indonesia menjadikan ekor program Thailand itu sebagai kepala program. Maka, jadilah program kondom di Indonesia mengekor ke ekor program Thailand.
Program ‘wajib kondom 100 persen’ bisa berjalan di Thailand karena diterapkan dengan cara yang konkret.
Pertama, germo atau mucikari yang mempekerjakan PSK memegang izin usaha sehingga pemerintah bisa melakukan tindakan hukum jika terjadi pelanggaran terhadap program.
Sia-sia
Kedua, ada mekanisme pengawasan yang konkret terhadap kepatuhan menerapkan ‘wajib kondom 100 persen’ yaitu survailan tes IMS (infeksi menular seksual, yaitu penyakit-penyakit yang tertular melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, seperti sifilis, GO, klamidia, hepatitis B, dll.) terhadap PSK. Jika ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS maka germo diberikan sanksi mulai dari peringatan sampai pencabutan izin usaha.
Sedangkan di Indonesia tidak ada germo atau mucikari yang memegang izin usaha sehingga tidak sanksi hukum tidak bisa diterapkan. Selain itu pengawasan pun tidak konkret. Bahkan, yang menjadi sasaran justru PSK. Di Merauke, Papua, misalnya, sudah ada PSK yang mendekam di bui karena mereka meladeni laki-laki tanpa kondom.
Apakah cara yang diterapkan di Merauke itu efektif? Tentu saja Tidak. Pertama, laki-laki yang menularkan IMS kepada PSK itu tetap ‘berkeliaran’ menularkan IMS kepada perempuan lain, PSK atau istrinya. Bahkan, bisa jadi selain IMS juga sekaligus HIV. Kedua, satu PSK ditangkap maka puluhan PSK (baru) mengisai lowongan yang ditinggalkan PSK yang ditangkap. Ketiga, laki-laki penduduk lokal, asli atau pendatang, yang tertular IMS serta HIV dari PSK akan menjadi mata rantai penyebaran IMS dan HIV di masyarakat.
Jika program kondom di Indonesia tetap menyasar PSK maka itu hanya pekerjaan yang sia-sia. Menggantang asap. Soalnya, posisi tawar PSK sangat rendah. Jika ada PSK yang menolak laki-laki yang tidak mau memakai kondom maka laki-laki itu akan memakai tangan germo untuk memaksa PSK menerimanya. Menjadikan PSK sebagai sasaran program merupakan kegiatan yang bias gender yang pada gilirannya mendorong stigma (pemberian cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan yang berbeda) terhadap PSK.
Penutupan lokalisasi pelacuran tidak otomatis menghentikan pelacuran karena (praktek) pelacuran bisa terjadi di mana saja dan kapan saja. Akibatnya, seperti dikemukakan oleh Menko Kesra, Agung Laksono, sulit mendeteksi kemana dia (PSK-pen.) lari. Seperti yang terjadi di Kota Tangerang, Banten, yang menerapkan Perda Anti Pelacuran: Apakah di Kota Tangerang tidak ada praktek pelacuran dan perzinaan?
Maka, untuk itulah paradigma program sosialisasi kondom dibalik. Yang menjadi sasaran bukan lagi PSK, tapi laki-laki.
Kalau pemerintah bisa menjamim tidak akan ada laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan di Indonesia dan di luar Indonesia maka tidak ada persoalan penyebaran HIV melalui hubungan seksual. Tapi, kalau jawabannya TIDAK, maka ada persoalan besar terkait dengan penyebaran HIV melalui hubungan seksual.
Disebutkan pula bahwah ibu-ibu rumah tangga juga menjadi sasaran pembagian kondom, karena ditakutkan tertular HIV/AIDS dari suaminya. Ini lagi-lagi bias gender dan akan menimbulkan persoalan besar. Soalnya, dalam banyak kasus IMS dan HIV jika ada istri yang terdeteksi IMS dan HIV suami justru menuding istrinya yang selingkuh.
Dikabarkan pula: “Penularan HIV yang terjadi di tempat-tempat pelacuran memang menjadi perhatian pemerintah, …..” Ini lagi-lagi menyuburkan mitos (anggapan yang salah) karena risiko tertular HIV terjadi di mana saja jika terjadi hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan.
Agaknya, pemerintah bak ‘kebakaran jenggot’ menghadapi epidemi HIV yang kian menggurita karena lalai menanggapi peringatan yang sudah sering disampaikan berbagai kalangan dari dalam dan luar negeri (Lihat: Syaiful W. Harahap, AIDS di Indoensia Menjadi Sorotan, http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2010/10/06/aids-di-indonesia-menjadi-sorotan/). ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H