Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Laki-laki Menyebarkan HIV/AIDS di Indonesia

30 November 2011   23:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:59 583
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Refleksi Hari AIDS Sedunia 1 Desember 2011

“ …. seks yang halalan thayiban (nikah) maupun seks bebas (tanpa nikah) yang dilakukan oleh pengidap HIV/AIDS, tetap saja berpotensi kuat menularkan HIV/AIDS, jika prianya tidak mengenakan pengaman kondom, begitu?

Itulah komentar yang saya terima di Facebook. Komentar itu menunjukkan pemahaman yang sangat rendah terkait dengan cara-cara penularan HIV yang akurat.

Hal itu terjadi karena selama ini informasi tentang HIV/AIDS selalu dibumbui dengan moral dan yang menyampaikannya pun membalut lidahnya dengan moralitas dirinya sendiri sehingga fakta medis tentang HIV/AIDS hilang dan yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah).

HIV/AIDS adalah fakta medis. Artinya, bisa diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran. Maka, cara-cara penularan dan pencegahannya dapat diketahui secara medis.

Mitos yang sudah memasyarakat, misalnya, disebutkan penularan HIV/AIDS karena ‘seks bebas’ yaitu hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK).

Istilah ‘seks bebas’ sendiri rancu karena tidak jelas maksudnya. Kalau seks bebas merupakan terjemahan dari free sex, maka istilah itu rancu bin ngawur karena dalam kamus Bahasa Inggris tidak ada laman free sex.

Istilah ‘seks bebas’ tumbuh subur di Indonesia karena dipakai sebagai eufemisme (penghalusan) kata zina dan melacur (Lihat: http://sosbud.kompasiana.com/2011/03/02/%E2%80%98seks-bebas%E2%80%99-jargon-moral-yang-menyesatkan-dan-menyudutkan-remaja/).

’Seks bebas’ dipakai oleh orang-orang yang membalut lidahnya dengan moral untuk mengganti kata berzina atau melacur. Di Kab Cirebon, Jawa Barat, lebih rancu lagi. Lokasi atau tempat-tempat, seperti ’warem’ (warung remang-remang), yang menyediakan perempuan untuk kegiatan pelacuran disebut sebagai ’tempat esek-esek’. Maka, di sana tidak ada yang melacur, tapi melakukan ’esek-esek’. Ini fakta tentang kemunafikan.

Celakanya, banyak laki-laki yang merasa tidak melakukan ’seks bebas’ karenamereka tidak melakukan hubungan seksual dengan PSK di lokasi atau lokalisasi pelacuran serta ’tempat esek-esek’.

Padahal, terkait dengan PSK dikenal ada PSK langsung dan PSK tidak langsung.

PSK langsung adalah PSK yang ’beroperasi’ di lokasi atau lokalisasi pelacuran, ’warem’, tempat esek-esek, dan yang ’mejeng’ di tepi jalan atau taman.

Sedangkan PSK tidak langsung adalah ‘cewek bar’, ‘cewek disko’, ’cewek kafe’, ’cewek pub’, ‘anak sekolah’, ‘mahasiswi’, ’ayam kampus’, ‘cewek SPG’, ‘ibu rumah tangga’, ’cewek ABG’, ’pelacur kelas tinggi’, ’call girl’, ’pacar’, ’kumpul kebo’, ’kawin kontrak’, nikah mut’ah, selingkuhan, WIL (wanita idaman lain), dll.

Sebagai pengasuh rubrik ”Konsultasi HIV/AIDS” di Harian ”Pare Pos” (Sulawesi Selatan) 2001-2002 saya mendapat surat dari seorang pejabat di sana: ”Bang, kalau saya dinas ke Surabaya, Denpasar, atau Jakarta saya ’disuguhi’ cewek cakep, mulus, sarjana, naik mobil mewah dan ’main’ di hotel berbintang. Apakah saya berisiko tertular HIV?”

Cewek itu jelas sebagai ’pelacur kelas tinggi’ termasuk orang yang berisiko tinggi tertular HIV karena dia melakukan hubungan seksual dengan laki-laki yang berganti-ganti. Waktu itu (2001) saya menganjurkan agar pejabat itu mau melakukan tes HIV karena perilakunya berisiko. Kalau pejabat itu tidak tes HIV, maka bisa dipastikan sekarang kondisinya sudah masuk masa AIDS dengan penyakit infeksi oportunistik.

Informasi yang akurat tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV merupakan ’vaksin’. Tidak ada yang lebih ampuh dari pengetahuan tentang cara-cara melindungi diri agar tidak tertular HIV.

Yang lebih merusak dan menyesatkan adalah informasi yang ngawur yang ditujukan kepada remaja untuk mencegah HIV yaitu: ”Hindari hubungan seks sebelum menikah”, ”Jangan lakukan hubungan seks pra nikah”, dll. Ini jelas menyesatkan karena tidak ada kaitan langsung antara hubungan seksual di luar nikah dan pra nikah dengan penularan HIV.

Selama informasi tentang HIV/AIDS tidak disampaikan dengan akurat, maka selama itu pula penyebaran HIV di Indonesia akan terus terjadi.

Penularan HIV terakit langsung dengan kondisi hubungan seksual bukan sifat hubungan seksual (Lihat Tabel).

Tapi, karena sejak awal epidemi di Indonesia pejabat tinggi, termasuk menteri kesehatan, selalu memberikan informasi HIV/AIDS dengan balutan moral, maka cara-cara penularan dan pencegahan HIV pun tidak pernah diketahui masyarakat secara konkret.

Lihat saja pernyataan ini: Menkes Suwardjono Suryaningrat, Yang Taat Beragama, Jauh Dari AIDS. Indonesia bukanlah tempatnya penyakit AIDS asal seluruh masyarakatnya tetap berpegang tegus pada ajaran agama yang dipeluknya ataupun norma-norma susila dalam kehidupan sehari-hari. (Merdeka, 25/9-1985).

Terkait dengan cara-cara pencegahan HIV melalui hubungan seksual yang berisiko sejak awal epidemi sudah diketahui, al. yaitu laki-laki memakai kondom pada saat melakukan hubungan seksual. Tapi, cara yang konkret itu di Indonesia justru ditentang habis-habisan dengan berbagai alasan.

Maka, tidak mengherankan kalau sampai sekarang kondom diabaikan. Ini terjadi karena pernyataan menteri kesehatan. Menkes Tolak Kampanye Kondom untuk Cegah AIDS. Menteri Kesehatan, Prof Dr Sujudi menegaskan, Departemen Kesehatan tidak akan mengkampanyekan kondom untuk penanggulangan AIDS di Indonesia. Kondom akan tetap digunakan sebagai alat kontrasepsi pria dalam program KB. “Kalau Depkes mengkampanyekan kondom untuk penanggulangan AIDS, berarti pemerintah melegalisir perbuatan prostitusi. Itu tidak benar.” (Suara Karya, 3/12-1993)

Pernyataan menteri kesehatan itu pun didukung pula oleh MUI. ”MUI Tak Setuju Kondomisasi untuk Penanggulangan AIDS. Majelis Ulama Indonesia (MUI) menolak dengan tegas program kondomisasi untuk penanggulangan AIDS, karena dengan menyetujui kondomisasi berarti melegalkan prostitusi. “Kondomisasi memberi kesempatan pada masyarakat untuk melakukan prostitusi asal memakai kondom,” ujar Ketua MUI, Hasan Basri, yang didampingi ulama Ali Yafie dan Prodjokusumo dalam jumpa pers di Jakarta.” (Kompas, 21/7-1995)

Tahun 2001 di Kongres AIDS Intenasional Asia Pasifik (ICAAP IV) di Melbourne, Australia, Direktur Eksekutif UNAIDS, waktu itu dijabat oleh Dr Peter Piot, sudah mengingatkan Indonesia agar lebih serius menanggulangi HIV/AIDS karena penyebarannya sangat cepat. Tapi, begitulah pemerintah menjadikan pesan itu sebagai ’anjing menggonggong kafilah berlalu’ (Lihat: http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2010/10/06/aids-di-indonesia-menjadi-sorotan/).

Memang, kafilah sudah berlalu tapi epidemi atau penyebaran HIV/AIDS terus menggonggong. Maka, jangan heran kalau penyebaran HIV/AIDS di Indonesia tercepat di Asia Tenggara atau nomor tiga di Asia setelah Cina dan India.

Dengan kasus AIDS sampai Desember 2011 sebanyak 25.400 dan 66.600 HIV (jpnn,com, 21/11-2011), maka secara epidemiologi Indonesia berada di ujung jurang ’ledakan AIDS’. Soalnya, estimasi dan prediksi pakar epidemiologi menyebutkan kasus riil HIV/AIDS di Indonesia antara 180.000 – 230.000. Angka ini bertolak dari jumlah laki-laki ’hidung belang’ yang menjadi pelanggan PSK tanpa kondom dan jumlah penyalahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya).

Tidak ada cara yang efektif untuk menghentikan penyebaran HIV, terutama melalui hubungan seksual pada laki-laki dewasa dengan PSK, selain menerapkan program ’wajib kondom 100 persen’ pada hubungan seksual di lokalisasi pelacuran. Thailand sudah membuktikan program ini dengan hasil penurunan insiden infeksi HIV baru yang dapat dilihat, al. dari prevalensi HIV pada kalangan muda yang menjalani tes untuk menjadi tentara.

Untuk itulah kegiatan pelacuran yang melibatkan PSK langsung dan PKS tidak langsung di lokalisir sebagai bentuk regulasi. Di lokalisasi itulah program ’wajib kondom 100 persen’ bisa diterapkan dengan pemantauan yang konkret pula.

Sayangnya, di Hari AIDS Sedunia ini pun yang diumbar hanya mitos. Padahal, yang diperlukan adalah cara-cara pencegahan yang konkret. Jika hal ini tidak dilakukan, maka ’ledakan AIDS’ tidak bisa dihindari antara 5 – 10 tahun ke depan. ***[Syaiful W. Harahap]***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun