“40 Warga Makassar Kena HIV Per Bulan.” Ini judul berita di www.tribun-timur.com (2/12-2010). Disebutkan: Setiap bulan, sedikitnya 40 warga Kota Makassar terkena HIV/AIDS Ini disampaikan oleh Ketua Badan Narkotika Kota Makassar, Supomo Guntur, saat membuka kegiatan sosialisasi HIV/AIDS di hadapan pengurus dan anggota Badan Kontak Majelis Taklim se-Kota Makassar, di kantor Walikota Makassar.
Pernyataan ini tidak akurat. Yang terjadi adalah setiap bulan ada 40 kasus HIV atau AIDS yang terdeteksi. Penduduk yang terdeteksi sebagai HIV-positif, artinya belum menunjukkan gejala-gejala penyakit terkait AIDS, minimal sudah tertular tiga bulan sebelum tes. Sedangkan penduduk yang terdeteksi HIV pada masa AIDS minimal sudah tertular antara 5 – 15 tahun sebelum tes HIV.
Disebutkan pula: “Makassar adalah penyuplai kasus tertinggi dari daerah lain di Sulsel.” Ini pun tidak akurat karena ada kasus HV dan AIDS yang tercatat di Makassar merupakan penduduk luar Makassar. Ini terjadi karena fasilitas untuk tes HIV dengan konseling dan LSM dukungan lebih banyak di Makassar.
Di Makassar sudah dilaporkan 3.272 kasus HIV/AIDS. Tapi, perlu diingat kasus yang dilaporkan ini hanya sebagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat. Yang menjadi persoalan besar justru kasus-kasus HIV dan AIDS yang belum terdeteksi karena tanpa mereka sadari mereka menularkan HIV kepada orang lain. Ini bisa terjadi karena orang-orang yang sudah mengidap HIV/AIDS tidak menunjukkan gejala-gejala yang khas AIDS pada fisiknya.
Disebutkan: Pemerintah Kota (Pemkot) Makassar juga akan melakukan tes urine dalam waktu dekat ini terhadap seluruh pejabat dan pegawai lingkup pemkot. Ini tidak objektif karena sudah menyamaratkan perilaku semua pegawai Pemkot Makassar. Pegawai yang dengan upaya yang keras menjaga dirinya agar tidak terlibat narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) akan merasa terhina karena tidak dihargai usaha mereka melindungi diri.
Akan lebih baik kalau sebelum urine diambil untuk tes dilakukan konseling. Yang dites hanya yang ada indikasi memakai narkoba. Soalnya, tes urine terhadap pegawai yang memakai obat pelangsing badan hasilnya akan positif. Tentu akan menimbulkan masalah baru kalau pegawai yang terdeteksi positif ada narkoba di urinenya hanya karena dia memakai obat pelangsing tubuh atau obat-obat lain yang diminum dengan resep dokter.
Disebutkan: Selain itu, tes urine juga sebagai bagian antisipasi penyakit menular HIV/AIDS. Ini tidak akurat karena tes HIV adalah mencari antibody HIV di dalam darah. Antibody ini pun baru ada setelah seseorang tertular HIV minimal tiga bulan. Maka, sangat diperlukan konseling sebelum tes HIV.
Belakangan ini kepanikan melanda Indonesia ketika kasus HIV dan AIDS kian banyak terdeteksi. Padahal, sejak awal kalangan epidemilogi sudah mengingatkan Indonesia agar segera menanggulangi epidemi HIV secara serius. Tapi, begitulah. Anjing menggonggong, kafilah berlalu. Kini, sudah terlambat karena kasus HIV dan AIDSsudah menyebar di masyarakat secara luas. Ini dapat dibuktikan dari kasus HIV di kalangan ibu-ibu rumah tangga. Mereka tertular HIV dari suaminya.
Kalau suaminya mempunyai istri lebih dari satu serta pasangan seks tentulah perempuan yang tertular HIV kian banyak. Apalagi suami-suami tadi juga menjadi pelanggan pekerja seks komersial (PSK) langsung atau PSK tidak langsung maka jumlah perempuan yang tertular HIV kian banyak.
Biar pun HIV/AIDS merupakan fakta medis yang bisa dicegah degnan teknologi kedokteran, tapi yang terjadi justru sebaliknya. HIV/AIDS dibawa ke ranah moral sehingga penanggulangannya tidak bisa dilakukan dengan cara-cara yang konkret.
Ibarat kebakaran jenggot pemerintahan daerah di Indonesia berlomba-lomba menelurkan peraturan daerah (Perda) pencegahan dan penanggulangn AIDS.Di Prov Sulawesi Selatan, misalnya, sudah ada tiga perda yaitu: (1) Perda Kab Bulukumba No 5/2008, (2) Perda Kab Bulukumba No 7/2009, dan Perda Prov Sulsel No 4/2010. Dalam tiga perda ini tidak ada satu pun pasal yang menawarkan cara-cara pencegahan dan penanggulangan HIV yang konkret. (Lihat: Syaiful W. Harahap, Menyibak Peran Perda AIDS Sulawesi Selatan, http://edukasi.kompasiana.com/2010/08/22/menyibak-peran-perda-aids-sulawesi-selatan/).
Tapi, karena semua perda hanya mengedepankan norma, moral dan agama maka tidak ada langkah yang konkret untuk mencegah dan menanggulangi epidemic HIV dalam perda-perda tsb. Jika Pemkot Makassar akan menanggulangi epidemi HIV, maka yang perlu dilakukan adalah langkah-langkah yang konkret dengan mengedepankan fakta tentang HIV/AIDS. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H