Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kota Malang Merancang Perda untuk Menanggulangi AIDS

9 Februari 2011   05:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:46 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Penemuan kasus HIV/AIDS yang terus terjadi ternyata membuat banyak kalangan bak kebakaran jenggot. Ini adalah buah dari keteledoran karena sejak awal epidemi HIV di Indonesia sudah banyak kalangan di dalam dan dari luar negeri yang mengingatkan agar pemerintah Indonesia serius menanggulangai HIV/AIDS. Tidak kuran dari seorang petinggi di UNAIDS (Badan PBB yang khusus menangani AIDS).

Pada Kongres Internasional AIDS Asia Pasifik VI (The Sixth International Congress on AIDS in Asia and the Pacific/ICAAP) di Melbourne, Australia, Oktober 2001, Dr Peter Piot (waktu itu Direktur Eksekutif UNAIDS) secara khusus menyoroti peningkatan epidemi HIV di kalangan IDU di Indonesia (Lihat: AIDS di Indonesia Menjadi Sorotan, http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2010/10/06/aids-di-indonesia-menjadi-sorotan/).

Tapi, peringatan demi peringatan hanya bagaikan anjing menggonggong kafilah berlalu. Hasilnya? Peningkatan kasus HIV/AIDS di Indonesia tercepat ketiga di Asia setelah Cina dan India.Tapi, tetap saja tanggapan terhadap realitas ini justru tidak realistis.

Salah satu tanggapan yang menjamur adalah pembuatan peraturan daerah (Perda) penanggulangan HIV/AIDS. Sudah 43 daerah mulai dari provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia yang mempunyai perda. Tapi, perda-perda itu hanya mengedepankan norma, moral dan agama sebagai cara pencegahan HIV dan penanggulangan epidemi HIV. Tentus aja tidak berhasil karena cara-cara yang ditawarkan melalui pasal-pasal pada perda itu tidak konkret.

Biar pun sudah terbukti perda-perda itu tidak bisa jalan, tapi tetap saja ada daerah yang memakasakan diri untuk menelurkan perda. Seperti di Kota Malang, Jawa Timur, ini, misalnya: “Saat ini sudah saatnya Pemerintah Kota Malang secara serius mengkaji disusunnya sebuah peraturan daerah atau peraturan wali kota tentang penanggulangan HIV/AIDS. Hal ini karena keterbatasan sumber daya dan sumber dana, seriusnya ancaman, dan pola penanggulangan yang memerlukan dukungan hukum memadai bagi lembaga dan petugas penanggulangan.” (HIV/AIDS.Malang Harus Punya Perda, kompas.com, 9/2-2011).

Padahal, tetangga kota ini yaitu Kab Malang sudah menelurkan perda sejenis tahun 2008 yaitu Perda Kab Malang No 14 Tahun 2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS. Sema seperti perda lain perda ini tidak bisa ‘kerja’ (Lihat: Syaiful W. Harahap, Menguji Kiprah Perda AIDS Kabupaten Malang, Jawa Timur,http://edukasi.kompasiana.com/2010/12/05/menguji-kiprah-perda-aids-kabupaten-malang-jawa-timur/).

Perda AIDS yang dimulai dari Kab Nabire, Papua (2003) merupakan gagasan yang muncul dari ‘angin sorga’ yang bertiup dari Thailand. Dikabarkan Neger Gajah Putih itu berhasil menunrunkan insiden penularan HIV baru di kalangan laki-laki dewasa melalui kewajiban memakai kondom pada hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) di lokaliasi pelacuran dan rumah bordir.

Lalu, program yang dikenal sebagai ‘wajib kondom 100 persen’ itu pun ‘diadopsi’ ke dalam perda. Celakanya, program tersebut merupakan ekor dari serangkaian program penanggulangan HIV/AIDS yang dilakukan secara komprehensif dengan berkesinambungan. Di Indonesia, melalui perda-perda itu, program tersebut menjadi bagian utama dari program penanggulangan. Ini artinya mengekor ke ekor program Thailand.

Apakah program kondom yang menjadi bagian dari perda bisa ‘jalan’? Tentu saja tidak. Soalnya, tidak ada mekanisme yang konkret dalam penerapan dan pemantauan program tsb. Lihatlah Pemkab Malang yang sudah mempunyai perda tapi kewalahan merapkannya ((Lihat: Syaiful W. Harahap, Memantau Pemakaian Kondom di Kab Malang, Jawa Timur, http://edukasi.kompasiana.com/2011/02/08/memantau-pemakaian-kondom-di-kab-malang-jawa-timur/).

Sekretaris KPA dr Nusindrati, menjelaskan, salah satu masalah yang muncul misalnya tidak adanya screening terhadap TKI yang pulang dari bekerja di luar negeri. Ini diskriminasi karena tidak ada kaitan langsung antara TKI dan penularan HIV terkait dengan kegaitan di luar negeri, seperti bekerja.

Apakah semua TKI akan melakukan perilaku berisiko tertular hIV di luar negeri?

Apakah penduduk Kota Malang tidak akan ada yang melakukan perilaku berisiko tertular HIV di luar negeri?

Kalau mau objektif terkait dengan risiko tertular HIV di luar negeri, maka semua penduduk Kota Malang yang pulang dari luar negeri dengan berbagai macam alasan dan tujuan juga harus menjalani skrining berupa tes HIV.

Mengedepankan TKI merupakan salah satu bentuk penyangkalan terhadap perilaku penduduk Kota Malang, asli dan pendatang, terkait dengan penyebaran HIV.

Apakan Pemkot Malang bisa menjami tidak ada laki-laki dewasa penduduk Kota Malang, asli dan pendatang, yang melakukan perilaku berisiko tertular HIV di Kota Malang atau di luar Kota Malang?

Kalau jawabannya YA, berarti tidak ada persoalan HV/AIDS dengan faktor risiko (mode of transmission) hubungan seksual. Tapi, kalau jawabannya TIDAK maka da persoalan besar yang dihadapi Pemkot Malang yaitu ada penduduk, terutama laki-laki dewasa, yang berisiko tertular HIV. Penduduk yang tertular HIV di Kota Malang atau di luar Kota Malang akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal di Kota Malang.

Dampaknya sudah bisa dilihat. Dengan kasus kumuilatif HIV/AIDS yang mencapai 1,546 menjadi beban berat bagi Pemkot Malang di masa depan. Saat ini Pemkot Malang bisa tidur nyenyak karena biaya penanggulangan AIDS, terutama pembelian obat antiretroviral (ARV), didanai donor asing. Tapi, kalau donor asing itu hengkang maka biaya penanggulangan akan menjadi beban Pemkot Malang.

Celakanya, Pemkot Malang lebih mementingkan dana APBD untuk membiaya klub sepak bola (Arema). Dengan kasus sebanyak itu dana yang diperlukan sangat besar untuk pembelian obat ARV, pengobatan infeksi oportunistik, dan perawatam Odha (Orang dengan HIV/AIDS).

Pemkot Malang harus melihat pengalaman Thailand ketika kasus AIDS meledak. Rumah sakit tidak bisa menampung pasien AIDS. Untunglah vihara di sana membuka pintu sehinggapenderita AIDS bisa ditangani.

Apakah rumah-rumah ibadah di Kota Malang akan membuka pintu untuk Odha kelak? Kita tunggu. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun