Jakarta, 25 Mei 2010. Ada salah kaprah yang sangat mendasar terkait dengan HIV/AIDS di negeri ini yaitu pengaitan norma, moral dan agama secara langsung. Padahal, dari aspek medis (catatan: HIV/AIDS adalah fakta medis karena bisa diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran) sama sekali tidak ada kaitan langsung antara norma, moral, dan agama dengan penularan HIV.
Penularan HIV melalui hubungan seks (bisa) terjadi di dalam ikatan nikah yang sah dan di luar ikatan nikah jika salah satu atau kedua-duanya pasangan yang melakukan hubungan seks HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan sanggama. Ini adalah kondisi hubungan seks. Sebaliknya, kalau satu pasangan dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun hubungan seks dilakukan di luar ikatan nikah. Ini adalah sifat hubungan seks.
Jika penularan HIV terjadi karena hubungan seks di luar nikah, seperti zina, melacur, 'kumpul kebo', dll. maka setiap orang yang pernah zina tentulah sudah mengidap HIV. Ada fakta terkait dengan penularan HIV melalui hubungan seks. Penelitan menunjukkan risiko tertular HIV melalui hubungan seks tanpa kondom dengan orang yang HIV-positif adalah 1:100. Artinya, dari 100 kali hubungan seks hanya satu kali kemungkinan tertular. Persoalannya adalah tidak ada yang bisa memastikan pada hubungan seks yang keberapa terjadi penularan. Bisa saja terjadi pada hubungan seks yang pertama, kelima, ketujuh puluh, dst.
Tidak Akurat
Maka, setiap kali melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan tetap berisiko tertular HIV. Ini bisa terjadi karena ada kemungkinan salah satu dari mereka HIV-positif.
Dalam artikel "AIDS, Kondomisasi dan Kampanye Seks Bebas" [BULETIN AL-ISLAM EDISI 382 di http://hizbut-tahrir.or.id/2007/12/04/aids-kondomisasi-dan-kampanye-seks-bebas] disebutkan: "Padahal seks bebaslah penyebab utama merebaknya HIV/AIDS, di samping penyalahgunaan narkoba." Ini tidak akurat karena tidak ada kaitan langsung antara 'seks bebas' (baca: zina) dengan penularan HIV. Penyalahgunaan narkoba juga tidak ada kaitannya secara langsung dengan penularan HIV.
Penularan HIV di kalangan penyalahguna narkoba hanya terjadi pada penggunaan narkoba dengan jarum suntik yang dipakai secara bersama-sama dengan bergiliran dan bergantian. Kalau seorang diri menyalahugunakan narkoba tidak ada risiko tertular HIV. Penyalahgunaan narkoba tanpa jarum suntik juga tidak ada risiko tertular HIV. Penularan HIV di kalangan pengguna narkoba dengan suntikan bisa terjadi kalau salah satu di antara mereka ada yang HIV-positif. Kalau semuanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV biar pn mereka memakai jarum bergantian. Ini fakta.
Dalam tulisan "Ironi Pencegahan HIV" di http://www.ezharadio.com/kajian-muslim/160-ironi-pencegahan-hiv.html disebutkan untuk menghindari penularan HIV yaitu "Hindari yang namanya Free Sex alias seks bebas atau perzinaan, kemaksiatan dan penggunaan khamr (termasuk narkoba)." Ya, ini juga ngaco bin ngawur. Cara lain untuk mencegah penularan HIV disebutkan: "Semua jenis industri seks bebas dan narkoba harus diberantas habis. Selain itu, tentu harus ada jaminan dari pemerintah dong mengenai lapangan pekerjaan yang layak dan halal bagi para pelaku bisnis haram tersebut."
Di negara yang menjadikan kitab suci sebagai UUD yang secara de jure dan de facto tidak ada industri seks dan minuman beralkohol tetap saja ada kasus HIV/AIDS. Saya kutip utuh informasi tentang AIDS di Arab Saudi: "The Saudi government reported that in 2008 the number of AIDS patients in Saudi Arabia was 13,926 with 3,538 Saudis. An estimated 505 were Saudi females and 769 non-Saudi women. About 80 percent got the virus through sexual activity, 15 percent through blood transfusions and 5 percent unknown. Most AIDS victims are between the ages of 15 and 49, which is a disaster in a young country like ours." [http://saudiwriter.blogspot.com/2010/01/saudi-arabia-takes-step-backward-in.html]
Dalam artikel: "Kesalahan Paradigma: Awal Kegagalan Penanganan Epidemi HIV-AIDS di Dunia dan Indonesia" [Faizatul Rosyidah, Dokter Klinik Kampus IAIN Sunan Ampel, http://www.eramuslim.com/suara-kita/pemuda-mahasiswa/cetak/faizatul-rosyidah-dokter-klinik-kampus-iain-sunan-ampel-kesalahan-paradigma-awal-kegagalan-penanganan-epidemi-hiv-aids-di-dunia-dan-indonesia - 1/12-2009] disebutkan "Inilah yang menjadi bukti bahwa penyakit berbahaya ini berasal dari kalangan berperilaku seks bebas dan menyimpang. Selanjutnya, budaya seks bebas pula yang menjadi sarana penyebaran virus HIV/AIDS secara cepat dan meluas di Amerika hingga ke seluruh penjuru dunia. Peranan seks bebas dalam penularan HIV/AIDS ini dibenarkan oleh laporan survey CDC Desember 2002 dan hal ini semakin jelas terlihat dari pola penularan HIV/AIDS ke seluruh dunia."
Lagi-lagi informasi yang disampaikan tidak akurat. Setelah WHO meresmikan HIV sebagai penyebab AIDS (1986) dan alat dan reagent tes HIV sudah ada maka kasus-kasus kematian yang tidak diketahui penyebabnya kembali diteliti. Di negara-negara maju kalau ada kasus kematian yang penyebabnya tidak bisa dikenali dari aspek medis maka darah dan bagian tubuh yang meninggal disimpan. Salah satu contoh darah di sebuah rumah sakit di Eropa Barat yang disimpan sejak tahun 1954 ternyata menunjukkan hasil yang reaktif ketika dites dengan reagent tes HIV. Kasus AIDS pertama dideteksi di AS tahun 1981.