Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kondom di Papua: Antara Penanggulangan AIDS dan Ritual Adat

6 Juli 2012   01:32 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:15 2300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada sebuah pelatihan wartawan untuk penulisan berita HIV/AIDS di Jayapura (2005), dr Zulazmi Mamdy, MPH, staf pengajar di FKM UI, bersama penulis, mengatakan kalau orang Jawa, Batak, Bugis, Manado, dll. yang ada di Papua mati karena penyakit terkait HIV/AIDS, maka di Jawa, di Batak, di Sulsel, di Sulut masih banyak orang Jawa, Batak, Bugis, Manado, dll.

Tapi, kalau orang Papua asli mati karena penyakit terkait HIV/AIDS, maka di daerah lain tidak banyak orang Papua. Artinya, seorang kepala suku kelak tidak akan mempunyai anggota suku lagi.

Kalau saja Pemprov Papua dan KPA Prov Papua memakai pendekatan yang realistis maka hambatan adat-istiadat terkait dengan sosialisasi kondom bisa diatasi.

Seperti yang dikemukakan oleh Ketua Komisi Penanggulangan Aids (KPA) Papua, Constan Karma, dia menilai sebagian masyarakat menganggap penggunaan kondom telah membatasi penambahan jumlah penduduk. Selain itu, ada pula ritual adat bergonta ganti pasangan, yang melarang penggunaan kondom (Kampanye Kondom di Papua Terhambat Adat Istiadat, KBR68H, 3/7-2012).

Dengan kasus kumulatif HIV/ADS di Papua yang mencapai 12.187 sudah diperlukan langkah-langkah yang konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS di Bumi Cenderawasih itu. Tanpa langkah yang konkret, maka tinggal menunggu waktu saja untuk ‘ledakan AIDS’.

Masyarakat boleh-boleh saja menganggap penggunaan kondom akan membatasi pertambahan penduduk. Tapi, di sisi lain apakah masyarakat sudah memahami bahwa jika kelak anak lahir dengan HIV/AIDS justru menimbulkan masalah baru dan anak itu pun belum tentu akan bisa mempunyai anak kelak.

Secara statistik masa AIDS terjadi setelah 5 – 15 tahun tertular HIV, sehingga bayi yang lahir dengan HIV/AIDS di masa remajanya akan mencapai masa AIDS. Kematian pada orang-orang yang mengidap HIV/AIDS terjadi pada masa AIDS.

Masyarakat diberikan pilihan: memakai kondom ketika melacur agar tidak tertular HIV sehingga pada hubungan seksual dengan istri tidak perlu memakai kondom agar bisa menghasilkan keturunan, atau tidak memakai kondom ketika melacur dan sanggama dengan istri tapi risikonya anak lahir dengan HIV/AIDS.

Begitu juga dengan ritual adat. Kalau laki-laki tidak mau memakai kondom pada ritual adat, maka pakailah kondom jika melalukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) atau pasangan yang berganti-ganti di dalam dan di luar nikah.

Di beberapa komunitas suku asli di Papua ada ritual yang al. ada kegiatan melakukan hubungan seksual dengan perempuan yang bukan istri atau pasangannya. Salah satu yang dikenal adalah tradisi papisj.

Karena tidak mungkin menyadarkan semua laki-laki terkait dengan risiko tertular HIV pada hubungan seksual dengan PSK, maka Pemprov Papua harus melakukan intervensi yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hungan seksual dengan PSK.

Bahkan, dalam Perda AIDS Papua dan perda-perda AIDS lain di Papua sama sekali tidak ada pasal yang menawarkan cara penanggulangan HIV/AIDS yang konkret (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/08/06/eufemisme-dalam-perda-aids-prov-papua/).

Celakanya, Pemprov Papua dan pemerintah kabupaten dan kota di Papua sama sekali tidak mempunyai program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK.

Disebutkan pula oleh Karma: “ …. Termasuk dari kalangan gereja yang lebih memilih diam, karena di satu sisi mereka menolak.”

Akan lebih baik kalau kalangan gereja memberikan langkah konkret untuk menanggulagi HIV/AIDS.

Pertanyaan untuk kalangan gereja: Apakah gereja mempunyai cara yang konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS di Papua?

Lalu, apakah selama ini ada kasus HIV/AIDS terdeteksi di kalangan agamawan di Papua?

Apakah kalangan gereja bisa menjamin bahwa tidak ada satu pun laki-laki Papua asli yang melacur tanpa kondom?

Jika ada laki-laki asli Papua yang melacur tanpa kondom di Papua atau di luar Papua, maka selama itu pula selalu saja ada laki-laki aspi Papua yang berisiko tertular HIV.

Laki-laki asli Papua yang tertular HIV di Papua atau di luar Papua akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di Papua, terutama melalui hubungan seksual dalam nikan, di luar nikah dan pada ritual ganti-ganti pasangan.

Diperlukan langkah-langkah yang konkret untuk menyelamatkan orang asli Papua dari HIV/AIDS (Lihat: http://sosbud.kompasiana.com/2011/06/26/menyelamatkan-suku-suku-tanah-papua-dari-ancaman-aids/).

Untuk itulah Pemprov Papua harus mempunyai program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan PSK. ***[Syaiful W. Harahap]***

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun