Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kondom di Mata Wartawan

11 Desember 2010   12:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:49 6
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pusat Media dan Pelatihan AIDS (PMP AIDS)-LP3Y Yogyakarta dan The Ford Foundation menyelenggarakan workshop penulisan jurnalisme empati masalah HIV/AIDS untuk wartawan media cetak 16 angkatan (dua kali di Denpasar, sekali di Bandung dan Makassar), radio (7, sekali di Cianjur, Jabar) dan televisi (2). Setiap angkatan diikuti 20 wartawan dari seluruh Indonesia (satu wartawan media cetak dari Kuala Lumpur, Malaysia). Tulisan ini berdasarkan pengalaman sebagai peserta, narasumber dan fasilitator workshop untuk wartawan.

“Ini pelecehan.” Itulah kesimpulan wartawan peserta workshop angkatan XII/Mei 2000 tentang pemberian kondom kepada mereka. Pemberian kondom itu sendiri dilakukan karena di hari-hari pertama workshop wartawan selalu mempersoalkan anjuran penggunaan kondom dalam konteks seks aman (safer sex). Mereka mengatakan anjuran itu akan mendorong perzinaan.

Nah, dalam kaitan itulah kondom dibagikan. Apakah benar setelah memegang kondom mereka langsung berzina?

Hal ini sebenarnya bermakna dengan peristiwa pemerkosaan yang dilakukan seorang pemuda terhadap seorang mahasiswi salah satu perguruan tinggi negeri di Bogor beberapa tahun yang lalu. Alasan pemuda itu: dia terangsang karena menonton film porno di bioskop. Dari aspek psikologis pun hal ini tidak sepenuhnya benar. Kalau memang film itu benar-benar mendorong orang untuk (langsung) melakukan hubungan seks, seharusnya semua laki-laki yang menonton film itu pun ikut-ikutan memperkosa. Hal yang sama berlaku untuk kondom. Hasrat seseorang yang memiliki atau tidak memiliki kondom untuk melakukan hubungan seks di luar nikah tetap tergantung kepada pribadi masing-masing. Nun di pedesaan yang jauh dari kondom pun tetap saja terjadi hubungan seks di luar nikah: pramarital, selingkuh maupun dengan pekerja seks.

Pemasyarakatan kondom pun analog dengan oralit. Dalam kasus muntaber, oralit menjadi penolong utama dan pertama. Dengan memberikan oralit penderita muntaber sudah dapat tertolong nyawanya. Konsekuensinya, oralit harus murah harganya agar terjangkau semua lapisan masyarakat dan mudah pula diperoleh sehingga tidak perlu dengan resep dokter sehingga tidak harus dibeli di apotek.

Hal yang sama terjadi pada epidemi PMS (penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seks yang tidak aman), seperti virus hepatitis B, HIV, GO, sifilis dan lain-lain. Seperti diketahui beberapa penelitian menunjukkan PMS sudah masuk ke populasi. Artinya, infeksi PMS sudah terdapat pada kalangan berisiko rendah, seperti ibu-ibu rumah tangga dan anak-anak. Ini menunjukkan ada yang membawa PMS kepada mereka karena mereka sendiri tidak melakukan perilaku-perilaku yang berisiko terinfeksi PMS. Kalau yang terinfeksi itu seorang istri, tentulah dia tertular dari suaminya. Pada gilirannya anak yang akan dilahirkannya pun dapat pula terinfeksi, baik ketika dalamkandungan, saat persalinan, maupun dari ASI.

Untuk memutus mata rantai penyebaran PMS inilah diperlukan kondom. Setiap orang berhak untuk menentukan cara hidupnya, termasuk melakukan perilaku-perilaku yang berisiko, tetapi di sisi lain dia wajib menjaga hak orang lain agar tidak tertular penyakit. Konsep pemasyarakatan kondom pun berkaitan pula dengan filosofi harm reduction (pengurangan kerugian). Paling tidak kondom dapat menghindarkan seseorang tertular penyakit akibat perilaku yang berisiko. Di pihak lain dia pun sudah menjaga orang lain agar tidak menjadi rentetan korbannya.

Sebagai alat, kondom netral. Sama seperti belati. Kalau dipakai mengupas mangga tentu bermanfaat. Tetapi, belati pun bisa mencelakakan orang lain. Semuanya tergantung kepada yang memegang belati itu. Lagi pula kalau wartawan sudah melihat kondom dari sisi yang negatif, seperti melihat belati sebagai alat untuk menikam orang lain, tentulah mereka sudah membuat penilaian yang tidak fair. Lebih parah lagi tidak sedikit wartawan yang menyebut-nyebut kondom berpori, tetapi tidak pernah melihat dan memegangnya secara langsung.

Soal kondom berpori itu pulalah yang muncul pada workshop Angkatan XI/November 1999. Mereka mengutip pernyataan yang menyebutkan kondom berpori sehingga bisa ditembus virus. Kalau wartawan mau sedikit memutar otak tentu pendapat itu tidak masuk akal karena kondom terbuat dari karet lateks yang sama sekali tidak mempunyai pori-pori. Hal ini dapat dibuktikan dengan cara yang amat sederhana yaitu dengan meniup atau memasukkan air ke dalam kondom. Kalau kondom berpori tentu saja balon kondom akan kempes atau air menetes, tetapi dalam berbagai penelitian ternyata kondom dapat diisi dengan udara dan air sampai menggelembung.

Dari sisi teknologi kedokteran pun tesis itu pupus karena sebagai virus HIV tidak bisa keluar dari larutan (darah, cairan sperma dan vagina). HIV hidup pada sel-sel darah, cairan sperma dan vagina. Maka, kalau kondom efektif menampung maka virus (HIV dan hepatitis B) dan bakteri (sifilis) pun tidak akan keluar dari kondom.

Yang lebih tidak masuk akal pun tetap diyakini wartawan: Carasodomi meskipun menggunakan kondom yang lebih tebal 10 inci, ternyata bocor juga. (Republika, 1/12-1998). Dengan tebal 10 inci (25,4 cm) kondom tidak akan bisa ditembus peluru pistol. Andaikan diameter lobang kondom 2,5 cm maka diameter kondom 53,3 cm. Apakah mungkin benda padat berdiameter 53,3cm bisa masuk ke dubur? Eh, biar pun sudah diajak tukar pikiran tetap saja ada wartawan peserta Angkatan XI yang tetap menyetujui pernyataan yang tidak didukung dengan bukti ilmiah itu.

Mana mungkin seorang wartawan menulis berita yang objektif jika dia sendiri sudah menilai kondom dari sisi yang negatif. Setiap orang boleh-boleh saja tidak setuju memakai kondom, tetapi dalam masalah penulisan berita tentulah wartawan tidak boleh menggelapkan fakta. Artinya, jika mereka tetap mengutip pernyataan pakar yang tidak objektif tentulah mereka sudah menggelapkan fakta.

Lagi pula hasil berbagai survei dan penelitian menunjukkan lelaki enggan memakai kondom, terutama dalam berhubungan seks dengan pasangan yang berganti-ganti, dengan berbagai alasan, seperti mengurangi kenikmatan, repot, dan lain-lain. Jadi, dari aspek ini saja pendapat yang mengatakan kondom mendorong orang untuk berzina, bahkan ada yang menyebutkannya sebagai legalisasi zina, sudah gugur karena lebih banyak yang tidak memakai kondom tetapi tetap melakukan hubungan seks dengan pasangan yang berganti-ganti.

Produksi kondom sendiri sudah menerapkan standar mutu seperti yang ditetapkan ISO (International Organization for Standardization). Ini menunjukkan kualitas kondom sudah terjamin, sehingga yang perlu diperhatikan adalah cara penyimpanan dan pemakaiannya. [Syaiful W. Harahap, Catatan Kecil dari Workshop PMP AIDS, Bagian I, Newsletter ”HindarAIDS” No. 48, 3 Juli 2000]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun