Ada yang berbeda pada penerbangan Lion Air JT nomor penerbangan 243 Bandara Raden Inten – Bandara Soekarno Hatta (25/1-2017) yang lepas landas pukul 18.15. Pengumuman otomatis berkali-kali terdengar di kabin kapal terbang Lion Air JT 243 (Tanjung Karang-Jakarta, 25/1-2017, 18.00) agar semua penumpang mematikan alat2 elektronik dan ponsel. Tapi, apa yg terjadi? Hampir semua penumpang mengabaikan perintah tsb. Bahkan, ketika sudah di run-way masih ada penumpang yang ber-posel-ria.
Pengalaman penulis memang sering penumpang mau membuktikan bahwa dia naik pesawat terbang, al. melalui telepon, SMS dan WA. Di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar, misalnya, beberapa kali penulis mendengar percapakan di ponsel: “Beta so duduk di kursi pesawat” “Saya sudah ada di dalam pesawat”. Dll. Yang pakai telepon pintar pun tidak mau ketinggalan: selfie dengan latar belakang penumpang.
Namun, 15 menit setelah lepas landas dan lampu tanda kencangkan sabuk pengaman dipadamkan benar-benar bertolak belakang 360 derajat dari kondisi ketika belum lepas landas. Kabin kapal terbang itu berubah jadi ‘rumah ibadah’. Penumpang memicingkan mata. Berbagai macam mimik wajah dan gerakan bibir bagaikan konser. Memegang erat sandaran kursi atau tangan teman terbang. Dari samping, di depan, dan dibelakang terdengar suara-suara yang menyebut-nyebut dan memanggil-manggil nama Tuhan. Ada pula yang menyebut ayat-ayat suci. Bahkan, pemuda yang gagah dan bak preman langsung menutup mata dan komat-kamit.
Suara dan desahan yang memuji dan meminta kepada-Nya kian kencang ketika ada kilat seakan menyambar kepal. Padahal, kapal terbang berada di atas awan sedangkan kilat dan petir di bawah awan. Memang, cahaya kilat menerjang sisi kapal terbang sebelah kiri arah penerbangan.
Di bus yang membawa penumpang kapal terbang dari apron ke terminal di Cengkareng pun penuh dengan ucapan syukur yang diselingi dengan berbagai komentar. “Kalau sayapnya patah, duh ...,” kata seorang laki-laki berbadan tegap yang beridiri di dekat pintu. “Ya, saya juga sudah pasrah,”ujar seorang perempuan sambil mengucapkan pujian kepada Tuhan.
Terlepas dari pro dan kontra pemakaian ponsel di kabin kapal terbang, yang jelas ada perintah dari awak kabin untuk mematikan alat-alat elektorik dan ponsel setelah masuk ke kabin. Alat-alat elektroni yang tidak menggunakan kontrol bisa dipakai setelah lepas landas dan sebelum mendarat, sedangkan alat-alat elektronik yang memakai alat kontrol dan ponsel harus dimatikan salama berada di dalam kabin.
Beberapa bulan yl. seorang penumpang yang duduk di kursi 2B, penulis di kursi 3D, mendatangi pramugari: “Mbak, tidak usaha negur saya dengan cara itu,” kata perempuan itu. Sebelumnya, seorang pramugari Lion Air, rute Jakarta-Bandar Lampung, menegur perempuan tadi karena terus-menerus memakai ponsel walaupun sudah diingatkan. Rupanya, pramugari itu ‘dongkol’ dan menegur dengan suara agak keras sehingga di dengar penumpang lain.
Memang, ironis orang-orang yang memakai ponsel pintar tentulah anologinya pintar juga, tapi kok jadi ‘keminter’ (sok pintar). Hal ini merupakan salah satu bentuk snobisme dan juga tergolong ‘kampujngan’. Artinya, biar pun sudah di kapal terbang tapi memakai kebiasaan di kampung.
[Baca juga: Ber-HP-ria di Kabin Kapal Terbang: ‘Budaya Kampungan’ sebagai Snobisme]
Dalam satu penugasan ‘Sehari Bersama’ dengan seorang pramugari salah satu maskapai penerbangan di tahun 1980-an untuk laporan di Tabloid “Mutiara” Jakarta, pengalaman pramugari itu menunjukkan orang-orang yang sering naik kapal terbang akan otomatis mengikuti prosedur. Misalnya, langsung memamai sabuk pengaman. Kalau yang baru pertama kali ‘kan bisa jadi tidak bisa pasang, tapi kalau disuruh dia marah dengan mengatakan: “Nanti saya pasang sendiri,” kata pramugari itu.
Suasana ketika kabin jadi ‘rumah ibadah’ benar-benar ironis karena sinyal ponsel bisa lebih berbahaya daripada awan dan kilat karena mengganggu alat navigasi dan sistem deteksi kebakaran di ruang bagasi. Tapi banyak penumpang mengabaikan perintah awak kabin. Seakan-akan mereka punya dua nyawa.