Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kasus HIV/AIDS (Resmi) Indonesia Nyaris Menembus Angka 100.000

5 Februari 2012   00:20 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:03 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_168442" align="aligncenter" width="620" caption="admin/ilustrasi(shutterstock)"][/caption]

Data yang dikeluarkan Kemenkes per 30 Juni 2011 tentang jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS secara nasional mencapai 93.176 yang terdiri atas 66.693 HIV dan 26.483 AIDS.

Bertolak dari kasus tsb. dikabarkan anggota Komisi IX DPR RI, Herlini Amran, mendesak Kementerian Kesehatan untuk meningkatkan koordinasi lintas sektoral dan monitoring pengendalian penularan HIV/AIDS yang semakin tinggi di Indonesia (HIV/AIDS Naik Tiga Kali Lipat, Kemenkes Diminta Tingkatkan Kinerja, republika.co.id, 3/2-2012).

Sampai kapan pun angka pada laporan kasus HIV/AIDS tidak akan pernah turun karena cara pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan dengan cara kumulatif. Artinya, kasus lama ditambah kasus baru. Maka, biar pun banyak penderita HIV/AIDS yang meninggal angka yang dilaporkan tidak akan pernah turun.

Yang bisa diturunkan adalah insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi pelacuran atau rumah bordir. Thailand sudah membuktikannya yaitu melalui program ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki ‘hidung belang’.

Selama tidak ada program serupa di Indonesia, maka insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa akan terus terjadi. Laki-laki yang tertular HIV akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat. Semua terjadi tanpa disadari karena tidak ada gejala yang khas AIDS pada fisik orang-orang yang sudah tertular HIV.

Celakanya, pemerintah pusat dan daerah di Indonesia mengabaikan program itu karena menganggap tidak ada pelacuran. Ini terjadi karena sekarang tidak ada lagi lokalisasi pelacuran yang di era Orba disebut resosialisasi.

Lagi pula resosialisasi tidak akan pernah berhasil karena program itu top-down. Kegiatan yang dilakukan bukan keinginan PSK (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/12/09/apriori-terhadap-pelacuran/).

Anggapan itulah yang membuat penanggulangan HIV runyam karena (praktek) pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu di seluruh wilayah Indonesia. Buktinya dapat dilihat dari kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga. Data KPAN menyebutkan sudah 1.970 ibu rumah tangga yang terdeteksi HIV/AIDS. Mereka tertular HIV dari suaminya. Tentu saja suami mereka tertular dari pasangan seks lain, seperti PSK.

Angka-angka yang dilaporkan Kemenkes RI itu sendiri hanya bagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat karena penyebaran HIV/AIDS erat katiannya dengan fenomena gunung es. Artinya, angka yang terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang menyembuh ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan es di bawah permukaan air laut (Lihat Gambar).

1328401135116570562
1328401135116570562
Persoalan lain yang terjadi di Indonesia adalah penanggulangan (hanya) dilakukan di hilir. Artinya, menunggu orang tertular dulu baru ditangani (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/11/09/penanggulangan-aids-di-indonesia-hanya-dilakukan-di-hilir/).

Program ‘wajib kondom 100 persen’ kian perlu karena survei perubahan perilaku menunjukkan 55 persen kasus infeksi baru HIV terjadi melalui hubungan seks heteroseksual. Salah satu hubungan seksual yang berisiko adalah yang dilakukan laki-laki dewasa dengan PSK di lokalisasi atau di tempat-tempat lain.

Menurut Herlini: “Belum terjadi perubahan signifikan dalam penanggulangan HIV di Indonesia selama 20 tahun terakhir.”

Tentu saja Herlini benar karena penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia bertumpu pada moral yang tidak menawarkan cara-cara yang konkret. Padahal, pencegahan HIV/AIDS bisa dilakukan dengan cara-cara yang realistis.

Tahun 2001 UNAIDS sudah mengingatkan Indonesia tentang percepatan kasus HIV/AIDS, tapi tidak ada langkah-langkah yang konkret yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi penyebaran HIV di Indonesia (Lihat: http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2010/10/06/aids-di-indonesia-menjadi-sorotan/).

Maka, Indonesia tinggal menunggu waktu untuk ‘panen AIDS’ karena penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi karena orang-orang yang sudah mengidap HIV/AIDS tidak menyadarinya. ***[Syaiful W. Harahap]***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun