Kalau kita lihat siaran pertandingan sepakbola Eropa di layar televisi ada penonton yang membawa istri dan anak-anak. Bahkan, di Inggris ada perusahaan yang memberikan bonus berupa tiket pertandingan sepakbola kepada karyawannya.
Gambaran itu bertolakbelakang dengan suasana di stadion dan di luar stadion di Indonesia. Menoton pertandingan sepakbola bak menyabung nyawa. Kerusuhan terjadi di lapangan hijau dan di luar lapangan hijau. Bahkan, di sepanjang jalan raya menuju terminal atau stasiun kereta api terdekat juga terjadi tawuran massal.
Julukan-julukan khas kepada pendukung klub juga bisa jadi bumerang karena akan mendorong pendukung melakukan kerusuhan dengan berlindung di balik julukan itu. Mereka pun memakai atribut julukan sebagai seragam menggalang kekuatan.
Sendirian pun tidak akan pernah nyaman menonton sepakbola selama pemain dan penontong mempertontonkan kekerasan berupa adu jotos, caci-maki, lempar-lemparan, dst. Korban luka-luka dan mati sia-sia pun terjadi. Apalagi dengan keluarga tentulah menonton sepakbola ibarat menyerahkan nyawa.
Di tahun 1970-an tidak pernah terjadi tawuran antar penonton atau pendukung kesebelasan. Yang kalah pun tidak pernah ribut. Yang sering terjadi justru adu jotos di lapangan hijau antar pemain. Maka, ketika pemain PSMS Medan dan Persija Jakarta berkelahi di lapangan Stadion Utama Senayan (sekarang Gelora Bung Karno) dan pertandingan tidak bisa dilanjutkan, Ketua PSSI pun, ketika itu Bardosono, menjadikan dua kesebelasan itu sebagai ‘juara kembar’ kompetisi klub perserikatan nasional pada tahun 1975.
Gubernur DKI Jakarta, waktu itu Bang Ali (Letjen KKO Ali Sadikin), sampai mengomel ke sopir dan kondektur angkutan umum yang datang menonton ke Senayan. Bang Ali seloroh “Kalau sudah jadi penduduk Jakarta ya dukung Persija, dong.” Soalnya, penonton didominasi oleh ‘halak kita’ yaitu perantau dari Tapanuli, Sumatera Utara, yang sebagian bekerja sebagai sopir dan kondektur angkutan umum.
Perkelahian atau tawuran antar pendukung juga merusak fasilitas umum dan merampok pedagang asongan. Ketika pendukung pulang dengan bus atau kereta api, maka angkutan itu pun tidak luput dari amukan warga di sepanjang jalan raya dan rel. Akibatnya, kerusakan pada bus dan kereta api,
Makin tidak jelas apa yang mendorong pendukung kesebelasan beringas bak binatang karena klub sepakbola yang mereka dukung pemainnya justru dari luar kota atau daerah bahkan dari luar negeri. Sedangkan di tahun 1970-an pemain perserikatan murni orang Indonesia dan kebanyakan dari daerah tempat kulub sepakbola tsb.
Jika dilihat dari sentimen kedaerahan tentulah lebih kental di tahun 1970-an, tapi mengapa justru ketika klub sepakbola diperkuat orang asing sentimen kedaerahan jauh lebih besar?
Agaknya, perlu juga penelitian dari aspek sosiologi dan psikologi agar bisa dilakukan penanganan yang akurat. Klub-klub di Eropa akan didenda berupa uang, larangan bermain dan larangan ditonton jika ada pendukung klub yang bikin onar atau melontarkan kata-kata yang bernasa rasial.
Celakanya, di Indonesia biar pun pemain memaki, meludahi dan menendang wasit hukuman untuk pemain dan klub tidak membuat jera.