Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Kampanye DiCaprio untuk Menyelamatkan Hutan Indonesia, Bukan Menghasut

2 April 2016   11:24 Diperbarui: 2 April 2016   16:07 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Agaknya, nalar sebagian dari kita kian terpuruk karena kian rentan terhadap kritik. Agar lebih seram kritik yang merupakan ajakan atau advokasi untuk sesuatu yang lebih baik pun dipelintir jadi hasutan.

Dikabarkan Leonardo DiCaprio, bintang film peraih Oscar, menyampaikan pendapat atau pandangannya melalui media sosial (Instagram) tentang hutan Indonesia yang kian menciut karena dijarah oleh perkebunan kelapa sawit sehingga mengancam kehidupan orang utan. Pernyataan DiCaprio itu bukan isapan jempol karena hal itu dilihat sendiri oleh DiCaprio setelah mengunjungi Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) tanggal 26 Maret 2016 (BBC Indonesia/kompas.com, 1 April 2016).

Judul berita di kompas.com itu pun amat seram “Jika Terbukti Menghasut, DiCaprio Terancam Dilarang ke Indonesia”.  Nah, pernyataan DiCaprio itu bukan hasutan, tapi menyampaikan fakta berupa realitas sosial yang merupakan ancaman bagi kelestarian alam untuk mendukung ekosistem nasional Indonesia.

Lebih lanjutDiCaprio menulis: .... jika perusakan hutan di Sumatera tidak dihentikan, maka rumah terakhir bagi orang utan, dan satwa lainnya seperti harimau dan gajah akan hilang untuk selamanya.

Ini jelas fakta. Lalu, mengapa disebut menghasut? Jika ajakan DiCaprio disebut menghasut, yang menyebut ajakan itu menghasut justru korban hasutan dari pihak-pihak yang merasa terganggu dengan pernyataan DiCaprio. Ini ada dalam berita “Pemerintah Indonesia akan menyelidiki tindakan DiCaprio karena diduga melakukan kampanye negatif terhadap industri kepala sawit di Indonesia.” Sayang, kompas.com tidak menjelaskan ini pernyataan siapa atau pihak mana di Indonesia.

Alih fungsi lahan di Indonesia terjadi secara besar-besaran, antara lain untuk lahan perkebunan kepala sawit. Ini fakta. Lalu, kampanye negatif seperti apa yang dilontarkan DiCaprio? Cara pandang yang naif itu merupakan trade mark di masa pemerintahan rezim Orde Baru (Orba). Celakanya, hal ini kembali reinkarnasi di sebagian besar aparat pemerintah sekarang ini. Untuk menangkis fakta, kritik pun dibawa ke ranah politis dengan memakai jargon-jargon nasionalisme.

Dalam berita Ketua Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HAKA), Farwiza Farhan, mengatakan kunjungan DiCaprio ke Indonesia tidak menyalahi hukum apa pun, karena dia hanya menyatakan pendapat dan dukungannya terhadap sebuah gerakan peduli lingkungan yang sudah dirintis masyarakat Indonesia. Farhan benar. Tanpa ada gerakan peduli lingkungan, permukaan tanah di negeri akan jadi padang pasir karena tingkat alih fungsi hutan yang dijadikan perkebunan, antara lain kelapa sawit dan permukiman.

DiCaprio tidak mengada-ada. Pakar lingkungan di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Dr. Tjut Sugandawaty Djohan mengatakan bahwa keberadaan hutan tropis di Indonesia tinggal sisa, yaitu 33% atau 43 juta hektar dari luas hutan sebelumnya, yaitu 130 juta hektar (www.mongabay.co.id, 3/1-2015). Untuk itulah Djohan mendesak Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menghentikan pembukaan hutan untuk lahan kebun kelapa sawit, al. dengan memperpanjang moratorium kebijakan izin kehutanan.

Dengan kondisi kerusakan hutan yang sangat tinggi itu dan sifat buruk tanaman kelapa sawit yang monokultur, apakah pendapat DiCaprio itu merupakan hasutan? DiCaprio mengajak kita membuka mata (hati) untuk melihat fakta agar negara ini tetap menyisakan kekayaan alam kepada rakyat sepanjang usia dunia. Lain halnya kalau penyelengara negara, dalam hal ini pemerintahan di daerah, lebih mementingkan kantongnya daripada kelangsungan hidup bangsa Indonesia.

Inilah salah satu dampak buruk UU Otda yang memberikan kekuasaan penuh kepada daerah, kabupaten, dan kota, untuk mengelola daerahnya. Penggagas UU Otda, anggota dewan dan aparat negara yang merancangnya boleh-boleh saja orang-orang hebat, tapi dampak kehebatan mereka justru memelaratan anak bangsa dan membawa alam negeri ke jurang kehancuran dan kepunahan ekosistem.***

Ilustrasi (Repro: jatengpos.co.id)

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun