Satu demi satu daerah-daerah di Indonesia mulai melaporkan kasus HIV/AIDS. Semula banyak kepala daerah, tokoh masyarakat serta elemen-elemen lain yang menepuk dada karena daerah mereka tidak melaporkan kasus HIV/AIDS.
Itu semua adalah keadaan yang semu karena tidak ada laporan bukan berarti tidak ada kasus. Tidak ada laporan terjadi karena banyak hal, misalnya, tidak ada sistem survailans tes HIV yang konsisten, dokter dan rumah sakit tidak melaporkan kasus, dll.
Tapi, ketika kasus-kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi dan tidak dilaporkan itu masuk masa AIDS, maka semua sudah terbuka. Artinya, pada masa AIDS (antara 5-15 tahun setelah tertular HIV) mulai muncul berbagai penyakit, disebut infeksi oportunistik, seperti diare, ruam, sariawan, jamur, TB, dll. Yang sangat sulit sembuh sehingga memaksa mereka berobat ke rumah sakit.
Karena pada orang yang tidak mengidap HIV penyakit itu bisa sembuh, maka dokter mengaitkannya dengan HIV/AIDS dan dianjurkan tes HIV. Tapi, hal itu sudah ’terlambat’ karena sebelum terdeteksi orang-orang yang mengidap HIV sudah menularkan HIV kepada orang lain pada rentang waktu antara 5 dan 15 tahun sebelum terdeteksi (Lihat Gambar 1).
[caption id="attachment_122971" align="aligncenter" width="417" caption="Gambar 1. Masa Jendela dan Masa AIDS"][/caption]
Maka, kasus demi kasus pun terdeteksi. Seperti yang terjadi di Kab Garut, Jawa Barat ini. Dikabarkan: ”Sepanjang tahun 2011 telah ditemukan 117 penderita HIV/AIDS ....” (2011, Ditemukan 117 Kasus Aids di Garut, kompas.com, 2/8-2011).
Angka itu merupakan sebagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat karena epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Artinya, kasus yang terdeteksi (117) adalah puncak dari gunung es yang menyembul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi ada di bawah permukaan air laut (Lihat Gambar 2).
[caption id="attachment_122972" align="aligncenter" width="417" caption="Gambar 2. Fenomena Gunung Es pada Epidemi HIV"][/caption]
Disebutkan oleh Kepala Bidang Pemberantasan Penyakit Menular (P2M), Dinas Kesehatan Kab Garut, Dede Rohmansyah: ” .... faktor utama dalam penyebaran HIV/AIDS di Garut ..... penggunaan jarum suntik oleh para pecandu narkoba dan perilaku seks bebas.”
Penyebaran melalui penyalahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) dengan suntikan hanya faktor risiko karena tidak bisa dijamin semua pengguna narkoba tertular melalui jarum suntik. Sebelum dan selama menggunakan narkoba mereka juga melakukan hubungan seksual yang berisiko, yaitu berganti-ganti pasangan tanpa kondom atau dilakukan dengan pekerja seks komersial (PSK).
Penyebutan ’perilaku seks bebas’ tidak akurat karena kalau ’seks bebas’ diartikan zina atau melacur, maka tidak ada kaitan langsung antara zina dan melacur dengan penularan HIV. Kalau benar zina dan melacur menyebabkan seseorang tertular HIV, maka semua orang yang pernah berzina dan melacur sudah mengidap HIV/AIDS.
Penularan HIV melalui hubungan seksual (bisa) terjadi di dalam dan di luar nikah (sifat hubungan seksual), jika salah satu dari pasangan itu mengidap HIV dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama (kondisi hubungan seksual).
Menurut Linda, 23, aktivis LSM di Garut: ” .... pendataan yang dilakukannya belum maksimal, dan umumnya terbentur dengan sifat tertutup masyarakat penderita.”
Dalam berita tidak disebutkan cara yang dilakukan Linda dalam mendata penduduk yang mengidap HIV/AIDS. Seperti diketahui orang-orang yang sudah tertular HIV tidak bisa diketahui dengan mata telanjang karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik mereka.
Disebutkan pula oleh Linda: "Mungkin karena malu dan tabu." Pernyataan ini juga tidak akurat karena orang-orang yang sudah tertular HIV justru tidak menyadari dirinya mengidap HIV karena tidak ada keluhan penyakit yang khas pada diri mereka.
Fakta menunjukkan lebih dari 90 persen orang yang tertular HIV tidak menyadari dirinya mengidap HIV/AIDS. Maka, yang perlu dilakukan adalah meningkatkan penyuluhan agar masyarakat, terutama laki-laki ’hidung belang’ menyadari perilaku mereka yang berisiko tertular dan menularkan HIV.
Di Garut seorang pemuda, inisial HA, 28, diasingkan keluarga dan masyarakat di kaki Gunung Guntur karena diduga mengidap HIV/AIDS (ANTARA, 19/9-2009). Ini menunjukkan pemahaman penduduk Kab Garung terkait dengan HIV/AIDS tidak komprehensif.
Celakanya, selama ini materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) HIV/AIDS selalu dibalut dengan norma, moral dan agama sehingga fakta medis HIV/AIDS hilang dan yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah).
Akibatnya, banyak orang yang tidak menyadari perilaku seksualnya berisiko tinggi tertular HIV. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H