Catatan: Artikel ini sama sekalit tidak terkait dengan dukung-mendukung atau relawan, tapi murni saya tulis dengan kaidah jurnalistik. Penulis.
Ketika banyak media massa, terutama stasiun televisi, menjadi corong bagi politikus dan birokrat untuk menaikkan elektabilitas mereka, Jokowi (Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo) yang selalu ada di puncak berbagai survai terkait dengan calon presiden (capres) justru tidak mempunyai media.
Maka, amatlah tidak masuk akal kalau kemudian ada yang mengatakan bahwa Jokowi hanya sekelas ini: "Memimpin Indonesia juga enggak boleh model cengengesan, asal aneh dan nyentrik mau naik gerobak barang bekas, nyetir truk sampah, atau bisa jongkok-jongkok di bantaran rel kereta api, dan seterusnya. Itu palsu, semu, sandiwara yang amat menipu." (Wakil Sekjen Partai Demokrat, Ramadhan Pohan, merdeka.com, 31/12-2013).
Satu hal yang tidak dipahami Pohan adalah media massa yang memberitakan Jokowi bukan media miliknya, tapi media lain yang justru ada yang milik petinggi partai, capres dan cawapres.
Dan Pohan pun menampik fakta lain yaitu Jokowi seorang sarjana kehutanan lulusan UGM, perguruan tinggi negeri yang masuk peringkat dunia, pernah menjabat walikota (Solo). Celakanya, Pohan tidak mempersoalkan kapasitas Rhoma Irama karena sentimen yang dia bangun tidak berpijak pada realitas sosial di social settings.
Laporan merdeka.com (6/1-2014) menyebutkan dalam sebulan ada 4.500 berita tentang Jokowi. Jumlah ini mengalahkan berita tentang Prabowo Subianto (Partai Gerindra) dan Ical atau Aburizal Bakrie (Parta Golkar).
Sebagai catatan Prabowo membayar ruang dan waktu di televisi melalui iklan yang bertubi-tubi. Sedangkan Aburizal memiliki dua stasiun televisi yaitu ANTEVE dan TVOne. Selain itu ada pula pasangan capres/cawapres Wiranto/Hary Tanoe (HT) yang gencar dipublikasikan melalui RCTI dan jaringan MNCTV. Partai NasDem didukung MetroTV sebagai milik Surya Paloh, ketua Partai NasDem.
Hal yang sama juga ada pada Menteri BUMN, Dahlan Iskan, selalu ada tulisannya di halaman satu dengan nama (by line) Dahlan Iskan di media-media cetak di bawah bendera JPNN (Jawa Pos News Network) di jaringan Jawa Pos Group. Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian berita tentang Dahlan pun bertebaran di semua daerah karena di semua daerah ada media di bawah bendera JPNN.
Bandingkan dengan Jokowi yang tidak memiliki media massa, seperti koran atau stasiun televisi.
Dalam dunia jurnalistik media massa yang hanya memberitakan petinggi dan pemilik perusahaan media tsb. untuk tujuan yang tidak bersifat jurnalistik, artinya tidak memenuhi unsur-unsur jurnalistik, dikenal sebagai “orgasm journalistic” atau “jurnalisme onani” yang lebih mementingkan kepuasan sendiri, dalam hal ini pemilik media atau yang membayar iklan, daripada memenuhi hak rakyat untuk mendapatkan berita yang akurat.
Dalam bahasa politik dikenal sebagai pencitraan. Semua yang ditampilkan sebagai berita dalam kandungan ‘jurnalisme onani’ hanya untuk mendongkrak citra di masyarakat.