Jembatan di Sungai Cihideung, Desa Cibanteng, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, sebagai jalan pintas yang menghubungkan kampung Pabuaran, Desa Cibanteng dengan kampus IPB ambruk tanggal 19/2-2012. Dikabarkan jembatan bambu itu ambruk karena tidak kuat menahan bebas. Ketika jembatan rubuh ada 20-an orang yang melintas bersamaan di badan jembatan bambu itu.
Kalau saja masyarakat bisa membaca kekuatan jembatan tentulah mereka tidak semerta semuanya berjalan di jembatan bambu itu.
Tapi, itulah yang terjadi. Masyarakat tidak belajar dari alam. Ketika waduk Saguling, di aliran Sungai Citarum, Jawa Barat, difungsikan akhir tahun 1980-an banyak penduduk yang mati sia-sia karena perahu motor yang mereka tumpangi tenggelam.
Perahu itu memakai motor yaitu motor yang dipakai memarut kelapa, padahal kendaraan air memerlukan mesin yang stabil yaitu diesel. Di perahu pun tidak ada pelampung atau ban dalam mobil. Perahu dimuat melebihi kapasitas.
Mengapa mereka tidak takut kecelakaan?
Waktu itu saya membuat laporan untuk Tabloid ’Mutiara’ Jakarta tentang kecelakaan itu. Polisi di sana mengatakan kecelakaan terjadi karena perahu-perahu itu melewati areal terlarang yaitu tempat latihan tembak TNI-AD.
Ketika saya tanya: Apakah mereka celaka karena tertembak?
Tidak!
Lho, mengapa banyak perahu yang tenggelam di waduk itu dan memakan korban banyak?
Pertama, berat jenis air danau lebih kecil daripada air laut sehingga perahu tidak mengapung sempurna. Hal yang sama terjadi kepada penumpang yang lebih mudah tenggelam daripada di air laut.
Kedua, penggerak yang dipakai bukan mesin diesel, tapi motor sehingga tidak stabil.
Ketiga, penumpang melebihi kapasitas.
Mengapa masyarakat tidak memikirkan risiko itu?
Waktu itu saya mewawancarai (alm) Sartono Mukadis, psikolog di UI. Menurut Sartono, masyarakat memakai analogi yang salah.
Sebelum ada waduk masyarakat memakai kendaraan bermotor, angkutan pedesaan (angkudes), sebagai sarana transportasi. Ketika angkudes membawa penumpang yang melebihi kapasitas yang terjadi adalah ban pecah atau per patah.
Nah, itulah yang mereka pikirkan terjadi pada perahu jika lebih muatan. Tapi, celaka karena di air yang terjadi tenggelam.
Maka, menurut Sartono, masyarakat yang akan beralhir dari ’budaya darat’ (menggunakan angkutan darat) ke ’budaya air’ (menggunakan angkutan air) perlu diberikan penyuluhan agar mereka memahami risiko angkutan air.
Sayang, hal itu tidak terjadi di Saguling. Padahal, dalam proposal pembangunan waduk itu dikabarkan ada dana untuk melatih masyarakat beralih transportasi.
Untuk itulah masyarakat perlu diberikan penyuluhan tentang risiko yang akan terjadi pada transportasi darat, air dan laut.
Di kapal terbang selalu ada penjelasan tentang cara-cara memakai alat pengaman dan penyelamatan diri pada saat terjadi kecelakaan.
Apakah hal yang sama dilakukan di angkutan darat dan angkutan laut?
Sudah saatnya masyarakat dididik tentang risiko-risiko yang akan timbul pada moda-moda transportasi serta cara-cara menyelamatkan diri. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H