[caption caption="Peta Laut Tiongkok Selatan. Sumber: bbc.co.uk"][/caption]“Indonesia akan Pertahankan Kepulauan Natuna dengan Jet Tempur” (VOA Indonesia, 2/4-2016). Judul berita ini benar-benar membuat saya bangga sebagai warga negara Indonesia.
Betapa tidak. Ketika Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, dulu keduanya di Kalimantan Timur, ‘dirampok’ Malaysia, sama sekali tidak ada upaya mempertahankan pulau itu. Kalau saja dibutuhkan relawan tentulah kita tidak berpikir panjang karena mempertahankan kedua pulau itu sama artinya menjaga wibawa negara di mata dunia.
Sekarang, Tiongkok mulai memprovokasi Indonesia yaitu melindungi nelayan Tiongkok mencuri ikan di Kepulauan Natuna. Tiongkok sendiri ‘mencaplok’ banyak wilayah negara-negara yang berbatasan langsung dengan Laut Tiongkok Selatan, seperti Vietnam, Malaysia, Brunei, Indonesia dan Filipina.
Tiongkok memakai ‘rumus’ nine dash line (sembilan garis putus) yaitu titik imajiner di laut yang dijadikan Tiongkok sebagai garis teritorial di Laut Tiongkok Selatan (Lihat Gambar). ‘Rumus’ ini tidak dikenal oleh Konvensi Hukum Laut PBB (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) 1982.
Akibat klaim Tiongkok itu perairan Laut Natuna pun masuk ke Tiongkok. Inilah yang membuat Indonesia harus tegas karena garis sembilan yang diklaim Tiongkok itu berlawan dengan UNCLOS 1982.
Dalam gambar UNCLOS ditandai dengan garis biru, sedangkan klaim Tiongkok ditandai dengan garis merah. Penerapan sembilan titik khayal itu sudah mencaplok wilayah perairan Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Filipina, Taiwan dan Vietnam.
Inilah sumber pertikaian di Laut Tiongkok Selatan menyangkut pulau-pulau di gugusan Spratly. Memang, akibat garis biru yang dibuat UNCLOS ada laut bebas, tapi tidak mencakup kepauan Spratly.
Klaim sembilan titik khayal itulah yang dipakai Tiongkok ketika membela kapal nelayan mereka ditangkap karena mencuri ikan di wilayah perairan Indonesia. Tapi, Tiongkok membatahnya melalui Juru bicara Kemenlu China, Hua Chunying: "Lokasi yang Anda sebutkan, tempat insiden berlangsung, merupakan kawasan penangkapan ikan tradisional China dan kapal nelayan China saat itu menjalankan aktivitas penangkapan seperti biasa di dalam area tersebut." (BBC World – detikNews, 22/3-2016).
Pernyataan Hua ini bertolak belakang dengan fakta. Tanggal 20 Maret 2016 kapal patroli KP Hiu 11 menangkap kapal KM Kway Fey 10078 karena menangkap ikan di perairan Indonesia. Kapal akan ditarik ke Natuna, tapi kapal coast guard Tiongkok menghalang-halangi dengan menabrak kapal KM Kway Fey 10078. Pengejaran kapal pencuri ikan ini bermula dari koordinat 05°05,866' Lintang Utara 109°07, 046' Bujur Timur (KOMPAS, 22/3-2016).
Kapal tersebut bukan kapal nelayan tradisional seperti yang dipahami dalam perjanjian dengan Malaysia, dengan Tiongkok tidak ada perjanjian terkait kapal nelayan tradisional, karena kapal itu menangkap ikan dengan pukat. Lagi pula tidak ada kesepakatan antara Indonesia dan Tiongkok tentang Traditional Fishing Right di wilahah ZEE Indonesia (trobos.com, 24/3-2016).
Perjanjian dengan Malaysia menyangkut nelayan tradisional adalah kapal di bawah 10 GT (gross tonage) dan hanya memakai pancing untuk menangkap ikan.