Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Indonesia Termasuk Negara yang Tertinggal Dalam Perang Melawan AIDS

30 Juli 2014   21:23 Diperbarui: 23 Maret 2023   08:55 489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: borgenproject.com)

“Indonesia termasuk negara yang dianggap tertinggal dalam kemajuan melawan HIV.” Ini ada di dalam siaran pers (press release) UNAIDSUNAIDS report shows that 19 million of the 35 million people living with HIV today do not know that they have the virus (17/7-2014).

Kesimpulan yang dilansir UNAIDS tersebut. menunjukkan bukti konkret terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.

Sejak awal epidemi, ditandai dengan keputusan pemerintah tentang kasus HIV/AIDS pertama yaitu pada laki-laki gay WN Belanda yang meninggl di RS Sanglah, Dempasar, Bali, pada tahun 1987 dengan indikasi penyakit terkait HIV/AIDS.


Mitos AIDS

Sebelum pemerintah menetapkan kasus ini sebagi kasus pertama di Indonesia, sudah ada beberapa kasus yang mengarah ke HIV/AIDS, tapi pemerintah menolak mengakuinya karena ketika itu dan sampai sekarang pun pemerintah selalu mengait-ngaitkan HIV/AIDS dengan ‘penyimpangan seksual’, khususnya homoseksual, luar negeri, dan bule.

Maka, kloplah sudah “definisi” AIDS yang disebut pemerintah dengan kasus WN Balanda tsb. sehingga pemerintah pun sambil nemepuk dada mengumumkan  bahwa kasus HIV/AIDS pertama di Indonesia adalah kasus karena penyimpangan seksual, laki-laki gay, homoseksual, bule dan luar negeri.

Itulah sebabnya kampanye penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia hanya mengedepankan aspek-aspek moral yang hanya sebatas retorika.

Tahun berjalan kasus terus terdeteksi. Celakanya lagi-lagi pemerintah menepuk dada karena jumlah kasus yang terdeteksi sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah penduduk dan kalau dibandingkan dengan jumlah kasus di negara lain.

Dalam bahasa lain yang dikumandangkan pemerintah dalam menangulangi HIV/AIDS hanya sebatas mitos (anggapan yang salah), al. (diolah dari berbagai brosur, bahan ceramah, buku, dll. oleh penulis):

1. HIV/AIDS adalah penyakit bule (maka banyak orang yang tidak merasa berisiko karena dia bukan bule dan tidak kontak dengan bule).

2. HIV/ADIS menular melalui zina atau di luar nikah (maka muncul wacana melakukan nikah mut’ah di pelacuran, di hotel tertentu juga dilakukan nikah mut’ah sebelum transaksi seks).

3. HIV/AIDS menular pada hubungan seksual sebelum nikah (maka orang-orang yang sudah menikah merasa aman dengan melakukan hubungan seksual berisiko).

4. HIV/AIDS menular melalui ‘penyimpangan seks’ (maka orang-orang yang tidak merasa dirinya melakukan hubungan seksual yang menyimpang yaitu homoseksual merasa aman melakukan hubungan seksual yang berisiko).

5. HIV/AIDS menular di lokalisasi pelacuran (maka pemerintah pun menutup lokalisasi pelacuran, tapi tidak bisa mengontrol pelacuran di berbagai tempat).

6. HIV/AIDS menular melalui hubungan seksual yang tidak sehat (jargon moral yang tidak akurat karena semua hubungan seksual adalah sehat).

7. HIV/AIDS menular karena tidak ada ketahanan keluarga (maka orang-orang yang merasa diri dan keluarganya mempunyai ketahanan merasa aman melakukan hubungan seksual bersiko).

Laki-laki Pembeli Seks

Mitos itulah yang membuat penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia runyam karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya berisiko tertular HIV al. karena tidak terkati dengan 7 hal di atas.

Sampai tahun 2006 jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS di Indonesia di bawah 10.000 dengan jumlah penduduk 180 juta jiwa. Sedangkan sampai 31 Maret 2014 jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS mencapai 188.273 yang terdiri atas 134,042 HIV dan 54,231 AIDS dengan 9,615 kematian (spiritia.or.id). 

Di bagian lain siaran pers UNAIDS itu disebutkan pula bahwa “Indonesia bersama lima negara lain (Republik Afrika Tengah, Republik Demokratik Kongo, Nigeria, Rusia, dan Sudan Selatan) menghadapi tiga ancaman, yaitu (a) beban HIV yang berat, (b) cakupan pengobatan yang rendah, dan (c) tingkat penurunan infeksi HIV yang sangat rendah.”

Untuk (a) tidak terasa berat karena sampai sekarang pemerintah menyediakan obat antiretroviral (ARV) gratis. Padahal, harga obat ini Rp 360.000 per paket/bulan. Untuk pengobatan lain yang muncul terkait dengan infeksi HIV ditanggung pemerintah melalui program kartu miskin. Tentu akan lain kondisinya kalau kelak pemerintah tidak lagi menyediakan obat ARV gratis karena akan banyak pengidap HIV/AIDS yang tidak bisa membeli obat ARV yang akhirnya berdampak pada tingkat  kematian yang tinggi pada pengidap HIV/AIDS.

Sedangkan untuk (b) juga tidak jadi masalah berat bagi pemerintah karena banyak orang yang mengdap HIV/AIDS tidak terdeteksi sehingga mereka tidak membutuhkan obat ARV. Bahkan, kematian mereka pun tidak pula terdeteksi terkait dengan HIV/AIDS karena meninggal di luar rumah sakit.

Yang jadi masalah besar adalah (c) karena erat kaitannya dengan penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Insiden infeksi HIV baru terus terjadi karena hubungan seksual berisiko al. dilakukan oleh laki-laki, sebagian besar beristri, dengan pekerja seks komersial (PSK) tanpa kondom. Jumlah laki-laki yang gemar ngeseks tanpa kondom dengan PSK mencapai 10 persen dari populasi laki-laki dengan rentang usaia 15-65 tahun. Jumlahnya mencapai 6,7 juta (tempo.co, 25/4-2014).

Di sisi lain tes HIV terhadap 100.926 perempuan hamil pada tahun 2013 menghasilkan 3.135 dari mereka tertular HIV. Sayang, hanya 1.544 yang mau menjalani program pencegahan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya. Akibatnya, ada 106 anak yang dilahirkan dengan HIV/AIDS (tempo.co, 25/4-2014).

Gambaran tentang risiko penyebaran HIV dari suami ke istri yang berakhir pada anak silakan simak di 2,2 Juta Laki-laki ‘Pembeli Seks’ ke PSK Mempunyai Istri


Yang bisa dilakukan pemerintan hanyalah menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki pada hubungan seksual dengan PSK. Ini hanya bisa dilakukan jika pelacuran atau PSK dilokalisir yaitu melaukan intervensi terhadap laki-laki berupa pemaksaan agar mereka memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK.

Celakanya, pelacuran di Indonesia tidak dilokalisir sehingga tidak bisa dijangkau untuk menjalankan program kondom. Itu artinya insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi yang kelak akan bermuara pada “ledakan AIDS”. *** [Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia] ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun