Catatan: Laporan ini saya tulis dua belas tahun yang lalu. Waktu itu belum ada perhatian terhadap penggunaan narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) dengan jarum suntik (injecting drug use/IDU) secara bergantian. Biar pun sudah banyak negara yang melaporkan kasus penularan HIV melalui IDU, tapi Indonesia tidak bergeming. Sama sekali tidak ada penanganan terhadap IDU. Tapi, setelah satu dekade ternyata penyebaran HIV melalui IDU benar-benar meledak. Penulis.
Penyalahgunaan zat dengan memakai jarum suntik dilihat David Gordon, psikolog yang juga konsultan penyalahgunaan zat-zat adiktif ini, akan sangat tinggi di Indonesia karena satu IDU akan mempunyai beberapa teman, temannya itu pun tentu mempunyai beberapa teman pula, dan seterusnya. Padahal,sepuluh tahun yang lalu David belum melihat gejala IDU di Indonesia. “Penyalangguna zat dengan memakai jarum suntik akan menjadi bom waktu bagi Indonesia,” kata David mengingatkan.
David sendiri tentu tidak main-main karena banyak faktor yang mendorong IDU. David memperkirakan di Jakarta saja ada 40.000 IDU. Andaikan di RSKO ada sepuluh, Parmadisiwi sepuluh, dan di Ongkomulyo sepuluh. Berarti sudah ada 30 yang tercatat. Mereka tentu mempunyai teman. Misalkan, satu orang mempunyai lima teman berarti sudah ada 150, begitu seterusnya. Mereka ini umumnya dari kalangan menengah ke atas. Angka ini pun, menurut David, merupakan puncak dari sutau fenomena gunung es. Angka resmi yang dikeluarkan pemerintah, tahun 1990 tercatat 257 pemakai narkotik dan tahun 1995 naik menjadi 308.
Salah satu upaya yang perlu diperhatikan dalam menangani penyalahguna zat, menurut David, adalah detoksifikasi yaitu mengeluarkan racun yang berasal dari zat-zat yang dipakai dari dalam tubuh. Upaya ini tidak sama untuk semua pecandu karena harus mempertimbangkan usia dan jenis zat yang dipakai. Ketika racun dikeluarkan seorang pecandu biasanya sampai pada kndisi sakaw. Pada tahap ini biasanya pecandu itu diberikan lagi zat dengan dosis yang dikurangi. Tapi, menurut David, tidak ada yang mati pada kondisi sakaw jika tidak ada komplikasi penyakit lain, seperti penyakit jantung.
Untuk mengatasi ketergantungan yang perlu diperhatikan adalah masalah recovery (pemulihan) yang merupakan tahap yang paling menentukan setelah detoksifikasi. Langkah-langkah yang standar dalam menangani pecandu adalah penanganan fisik-mental-emosional. ”Jangan dibalik-balik,” kata David. Aspek fisik berarti upaya mengeluarkan racun (detoksifikasi). Langkah berikutnya adalah menangani pecandu tadi dengan afeksi dan selanjutnya membangkitkan rasa percaya diri agar bisa kembali hidup dengan fungsi sosial yang normal.
”Di Indonesia penanganan pecandu tidak konsisten mengikuti prosedur yang baku,” kata David. Bahkan, ada yang memakai jalur agama sebagai pilar utama. Akibatnya, pengalaman seorang psikiater yang banyak menangani pecandu menunjukkan tidak sedikit pecandu yang ditangani denan cara-cara di luar yang disebutkan David justru terganggu fungsi sosialnya. Mereka memang berhenti sebagai pecandu, tapi tidak bisa hidup bersama di komunitasnya.
Cara-cara yang dilakukan banyak kalangan dengan mengutamakan aspek keagamaan, menurut Davd, lebih bersifat psiko-agama yang dalam prakteknya mengasingkan pecandu dari pergaulan sosialnya. Cara ini akan membuat pecandu tidak bisa menjalani terapi karena mereka dipaksa untuk ’dekat’ dengan Tuhan.Celakanya, mereka sering menyalahkan dan membenci pihak lain, termasuk Tuhan, sehingga pada diri mereka ada obsesi mental dan emosional.
Rehabilitas bagi pecandu bukan dalam bentuk penanganan seperti terhadap seorang narapidana, tapi terapi untuk menangani kecanduan. Selama 40 tahun David sudah menangani sekitar 40.000 pecandu di beberapa negara.Yang bisa diingatnya dari 5.000 yang bisa berhenti 40 di antaranya melelaui pendekatan agama. Tapi, hanya tiga yang berhenti karena mendapatkan ’keajaiban’ melalui pendekatan religius. Dua dengan cara mendekatkan diri ke Tuhan melalui kegiatan-kegiatan di gereja dan satu lagi dengan menjalankan agamanya secara konsekuen.
Penyualahguaan obat dilihat David bermula dari user (pengguna) kemudian berlanjut ke abuser (penyalahguna) dan sampai ke addict (pecandu). Pada tahap penyalahguna tidak bisa lagi dihentikan karenazat sudah mengendalikan dirinya sehingga obsesi mentalnya pun membuatnya tidak bisa menghentikan kecanduan.
Pada saat mulai menggunakan zat, sebenarnya, seseorang sudah berkepribadian ganda. Pada kepribadian semula seseorang sebagai pengguna dan penyalaguna, tapi pda kepribadian berikut seseorang sudah pada posisi pecandu. Inilah yang disebut David sebagai konflik antara dua kepribadian dalam diri seseorang.
Pemakai zat, sebenarnya, sudah masuk ke dalam kelompok berisiko terhadap kemungkinan pecandu. Banyak yang minum minuman beralkohol agar rasa percaya dirinya tinggi dan kemampuan seksnya naik. Di lokalisasi pelacuran, misalnya, selalu saja ada minuman beralkohol.
Biasanya merokok akan diikuti dengan minum minuman beralkohol dan sebagian ikut pula mencoba ecstasy dan berikutnya akan memakai putauw dan shabu-shabu. Hanya sedikit di antara mereka yang bisa berheni sebelum sampai pada tahap pemakai putauw karena setelah minum minuman beralkohol pemakaian ecstasy biasanya bersifat perantara atau dikenal juga sebagai obat jendela (window drug).
Untuk itulah David berhadap agar masalah IDU ditangani secara serius agar tidak menjadi bom waktu di Indonesia sebagai penyebar HIV. ***
[Sumber: Newsletter “HindarAIDS”, Nomor 8, 2 November 1998]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H