”Oleh karena HTI menolak program kondomisasi. Satu-satunya jalan mencegah HIV AIDS adalah tidak berzina.” Ini pernyataan dalam berita ”HTI Purwokerto Tolak Kondomisasi” (pikiran-rakyat.com, 24/6-2012).
Ternyata organisasi sebear Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Purwokerto tidak mengetahui cara-cara penularan HIV yang konkret.
Dalam jumlah yang dapat ditularkan HIV terdapat dalam (a) darah, (b) air mani, (c) cairan vagina, dan (d) air susu ibu (ASI).
Penularan HIV melalui air mani dan cairan vagina yang mengandung HIV adalah melalui hubungan seksual vaginal penetrasi, di dalam dan di luar nikah, dari yang mengidap HIV/AIDS kepada pasangannya dengan kondisi penis bersentuhan langsung dengan vagina.
Maka, amatlah gegabah kalau HTI Purkowerto mengtakan mencegah HIV/AIDS adalah dengan cara ’tidak berzina’. Ini menyesatkan karena kalau benar zina menyebakan (penularan) HIV/AIDS, maka semua orang yang pernah berzina tentu sudah mengidap HIV/AIDS.
Maka, remaja-remaja yang hamil sebelum menikah pun sudah mengidap HIV/AIDS. Hal yang sama juga terjadi pada pasangan yang menikah karena ’kecelakaan’ yaitu hamil duluan.
Tentu saja sudah amat banyak orang yang mengidap HIV/AIDS karena tidak sedikit orang yang (sering) berzina baik dengan pacar, selingkuhan, atau pun dengan pekerja seks komersial (PSK) serta waria.
Disebutkan dalam berita: ”Puluhan aktivis Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Purwokerto menggelar aksi protes kondomisasi masyarakat. Massa menuding sosialisasi kondomisasi sama saja dengan melegalkan seks bebas.”
Pertama, di Indonesia tidak ada program kondomisasi yang dilakukan adalah sosialisasi kondom pada hubungan seksual yang berisiko yaitu yang dilakukan dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan.
Kedua, ‘seks bebas’ adalah jargon yang menyesatkan dan memanipulir zina. Jargon ini adalah terjemehan besar dari ‘free sex’ yang justru tidak dikenal dalam kosa kata Bahasa Inggris (Lihat: http://sosbud.kompasiana.com/2011/03/02/%E2%80%98seks-bebas%E2%80%99-jargon-moral-yang-menyesatkan-dan-menyudutkan-remaja/).
Ada poster bertuliskan: 'Sosialisasi Kondom Kebijakan Cabul Pemerintah'. Ini tidak sejalan dengan perilaku beragama.
Menurut Kordinator Lapangan Aksi HTI di Alun-alun Purwokerto, Abietya Sakti Narendra: "Bagaimana mungkin kondom bisa menekan angka penyebaran HIV/AIDS."
Cara mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual pada pasangan yang salah satu mengidap HIV/AIDS adalah menghindarkan pergesekan penis dan vagina ketika terjadi hubungan seksual penetrasi. Nah, silakan saja memilih cara yang terbaik.
Cara terbaik adalah membalut atau membungkus penis dengan kondom agar tidak terjadi pergesakan langsung dengan vagina. Maka, kondom bisan mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual sehingga menurunkan insiden infeksi HIV baru.
Kepala Dinas Kesehatan Banyumas, Widayanto, meminta agar masyarakat tidak menyalahkan kondom. Sebab ada atau tidak ada kondom orang tetap akan melakukan seks bebas, tujuan pemakaian kondom yang paling utama adalah melindungi orang yang tidak bersalah dari ancaman penularan HIV/AIDS, khususnya adalah ibu rumah tangga.
Pernyataan Widayanto ini benar, tapi tidak tepat karena tidak ada kaitan bersalah dengan penularan HIV. Lagi pula tidak dijelaskan oleh Widayanto kapan kondom dipakai: ketika suami melakukan hubungan seksual dengan pasangan lain, bisa PSK, selingkuhan yang berganti-ganti, waria, dll. atau ketika suami yang perilakunya berisiko melakukan hubungan seksual dengan istrinya.
Menurut Widayanto: "Trend saat ini jumlah orang dengan HIV AIDS (Odha) adalah ibu rumah tangga, umumnya mereka tertular oleh suaminya yang tidak setia. Korbannya sudah sangat banyak."
Nah, kalau kondom mendorong orang berzina atau melacur tentulah ibu-ibu rumah tangga itu tidak tertular HIV karena suami mereka memakai kondom ketika berzina atau melacur. Tapi, kenyataannya justru sebaliknya: suami-suami tidak memakai kondom ketika berzina atau melacur. Maka, mereka berisiko tertular HIV yang pada gilirannya mereka pun menularkan HIV kepada istrinya (horizontal). Istrinya pun kelak akan menularkan HIV kepada bayi yang dikandungnya (vertikal).
Kalau saja HTI Purwokerto memakai akal sehat maka yang perlu mereka lakukan adalah mengajak laki-laki, paling tidak keluarga mereka, agar tidak berzina dan tidak melacur. Ini langkah kecil yang merupakan lompatan besar dalam penanggulangan HIV/AIDS.
Sayang, dalam penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia yang dipakai justru jargon sebagai retorika moral sehingga penyebaran HIV terus terjadi. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H