Catatan: Laporan ini saya tulis untuk newsletter “HindarAIDS” dua belas tahun yang lalu. Biar pun sudah ada fakta tentang penggunaan narkoba dengan jarum suntik tapi pemerintah tidak menanggapinya. Bahkan, Direktur Eksekutif UNAIDS, Dr Peter Piot, sudah mengingatkan Indonesia tentang hal ini di Kongres AIDS Internasional Asia Pasifik (ICAAP) VI, Oktober 2001, di Melbourne, Australia (lihat: ). Maka, jangan heran kalau sekarang penyalahgunaan narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) dengan jarum suntik meledak bersamaan dengan HIV dan AIDS. Penulis.
Seiring dengan epidemi HIV/AIDS banyak negara yang melaporkan penyebaran HIV melalui pemakaian jarum suntik pada narkotik (injecting drug use-IDU). Data yang dikeluarkan UNAIDS dan WHO (Juni 1998) ada 96 negara yang melaporkan penularan HIV melalui IDU.
Bahkan, di beberapa negara penyebaran HIV melalui IDU justru lebih besar daripada melalui hubungan seksual. Di Belarus, misalnya, 87% Odha tertular dari IDU. Pada tahun 1995 di Rusia penyebaran HIV terutama melalui hubungan seksual, tapi pada tahun 1996 dan 1997 ternyata empat dari lima kasus HIV baru terinfeksi melalui IDU. Di Bangkok prevalensi HIV di kalangan IDU meningkat dari 2% menjadi 40% dalam masa dua tahun. Tigaperempat kasus infeksi HIV tercatat di Malaysia, Vietnam, Myanmar dan bagian India dan Cina adalah di kalangan IDU. Sampai tahun 1997 hampir 70% Odha di Vietnam terdeteksi di kalangan IDU. Di New York City, AS, prevalensi HIV di kalangan IDU naik dari 10% menjadi 50% dalam tiga tahun belakangan ini. Sedangkan di Edinburgh, Skotlandia, prevalensi naik dari 1% menjadi 40%. Di Indonesia sendiri menurut laporan bulanan kasus kumulatif HIV/AIDS yang dikeluarkan Ditjen PPM&PL, Depkes, sampai tanggal 31 Agustus 1998 tercatat enam kasus HIV/AIDS yang tertular melalui IDU (tiga AIDS dan tiga HIV).
Peningkatan infeksi HIV di kalangan IDU terjadi karena sebagai besar dari mereka memakai jarum suntik secara bersama. Jika jarum itu berisi sisa darah yang sudah tercemar HIV maka akan sangat mudah tertular kepada yang kemudian memakai jarum itu. Darah bukan hanya berada di jarum, tapi juga di ujung penyemprot karena sering terjadi pecandu menarik pengisap penyemprot setelah jarum dimasukkan ke pembuluh darah untuk memastikan apakah jarum itu sudah benar-benar masuk.
Masalah penyebaran HIV melalui IDU tidak bisa dianggap remeh karena perkiraan WHO (1992) menunjukkan lebih dari lima juta penduduk dunia menyuntik narkotik. Sedangkan di Indonesia, diperkirakan oleh seorang konselor mencapai angka 100.000.
Pemakaian narkotik sendiri, sebenarnya, semula dikategorikan sebagai kejahatan, tapi belakangan penyalahguna zat adiktif dikaitkan dengan gangguan psikis dan psikologis berupa gangguan kepribadian (personality disorder). Ketergantungan zat adiktif merupakan suatu kondisi yang membuat seseorang harus menggunakan zat secara berkala atau terus-menerus untuk mendapatkan efek psikologis agar dapat menimbulkan suatu perasaan yang diinginkan. Kondisi ini ditandai dengan perilaku yang mendorong seseorang untuk tetap menggunakan zat.
Biar pun angka kasus HIV/AIDS yang tertular melalui IDU di Indonesia terbilang kecil, tapi hal itu tidak bisa diabaikan karena angka yang sebenarnya merupakan dark number. Lagi pula kecenderungan untuk memakai jarum suntik terus naik sejalan dengan pemakaian zat-zat, seperti putauw. ”Risiko terjadi karena mereka memakai jarum suntik yang sama,” kata dr. Erwin Widjono, mantan Direktur Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO) di Jakarta. Persoalan kian rumit karena jarum suntik tidak dijual bebas sehingga hanya bisa dibeli dengan resep dokter.
Namun, pada beberapa kasus pemakaian jarum bersama justru berkaitan dengan rasa kebersamaan mereka sebagai anggota suatu kelompok. Dengan menggilir jarum, mereka merasa sudah saling terikat satu sama lain. Dan, cara yang ditempuh sebagian pecandu dengan IDU sangat berisiko terhadap penyebaran penyakit yang ditularkan melalui darah.
Dalam konteks upaya pengurangan kerugian (harm reduction) yang berkaitan dengan penyalahguna zat (substance abuse) tentu akan berhadapan dengan yang pro dan kontra. Di beberapa negara pemerintah justru membagi-bagikan jarum suntik yang steril kepada pecandu agar mereka terhindar dari penyakit yang menular melalui darah. Jadi, hal itu berkaitan dengan upaya untuk mengurangi kesengsaraan dan meringankan beban pecandu.
Di Indonesia sendiri penyalaguna zat sudah mulai sejak tahun 1969 yang ditandai dengan pemakaian opioida (opium, morfin, heroin, kodein, petidin dan metadon), kokain dan ganja (marijuana). Kemudian muncul barbiturat (sejenis obat tidur dan obat anti-epilepsi, klorahidrat, diazepam, meprobamat, metaqualone). Belakangan junis zat yang disalahgunakan bertambah lagi dengan hipnotika, sedativa, dan heroin. Zat adiktif lain yang disalahgunakan termasuk amfetamin, lem, bensin, benzodiazepine, gas korek api dan beberapa obat resep.
Tahun-tahun terakhir ini muncul upla ecstasy, putauw (beruapa heroin yang dicampur), dan shabu-shabu. Persoalan pengguanan zat ini diatur dalam UU No. 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. UU ini sudah diamandemen dan sekarang berlaku UU ......
Penyalahgunaan obat (drug abuse) juga melalui suatu proses yang biasanya dimulai dari merokok dan minum minuman beralkohol. Pada mulanya sebagai pengguna eksperimental (mencoba-coba), biasanya karena ajakan teman. Hal ini terjadi karena zat mudah didapat dan ada dorongan rasa ingin tahu pada diri remaja. Jika hal itu terus berlanjut sampailah ke tahap pengguna kadang-kadang atau sesekali. Pada tahap ini pengguna sudah pula sampai pada tahap rekreasional atau pengguna sosial yang terkait dengan ’hormat’ antar teman dalam persahabatan. Tapi, bisa juga pengguna pribadi. Pengguna pada tahap ini masih bsia diawasi. Kalau kebiasaan itu terus berlangsung maka sampailah pada tahap penyalahgunaan zat yang akhirnya sampai pada kondisi ketergantungan zat.
Pada tahap coba-coba dan pengguna sesekali, sebenarnya, sudah harus ada intervensi, berupa upaya mengendalikan dan mengalihkan mereka dari kebiasaan tersebut. Tapi, pada tahap penyalagunaan dan ketergatungan zat seorang penyalahguna sudah harus dirawat.Namun, perlu diperhatikan kalangan yang berpotensi sebagai pengguna zat karena berbagai faktor. Ada yang berisiko tinggi dan berisiko rendah. Kalangan inilah yang perlu diperhatikan melalui program pencegahan agar tidak terjerumus menjadi penyalahguna zat-zat adiktif.
Suatu penelitian di Bali (1998) menunjukkan pengeluaran pecandu untuk keperluan zat antara Rp 100.000 – Rp 3 juta per minggu. Dalam kaitan ini sering terjadi pengguna beralih menjadi penjual dan seterusnya menjadi penyalur, menjadi pekerja seks (pecandu perempuan) atau menjadi pencuri. Hal ini terjadi supaya si pencandu mampu lagi membeli zat.
Pada mulanya ia menjual barang-barangnya sendiri. Kemudian menjual barang-barang di rumah dan selanjutnya mengambil barang dan uang anggota keluarga. Selanjutnya jika tidak ada lagi kesempatan di rumah mereka pun akan menjadi pengedar dengan harapan bisa mendapatkan uang sekaligus zat. Begitu seterusnya. ***
[Sumber: Newsletter “HindarAIDS”, Nomor 8, 2 November 1998]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H