* Penanggulangan HIV/AIDS di Prov Kaltim tanpa langkah yang konkret
“HIV/AIDS menyerang siapa saja. Tua, muda, laki-laki maupun perempuan. Penyakit ini satu di antara virus yang mematikan.” Ini lead berita “29.879 Temuan HIV/AIDS di Kaltim. Terbanyak Usia Produktif, Seks Bebas Penyebab Utama” (www.kaltimpost.co.id, 12/4-2012).
Pernyataan pada judul dan lead berita ini menunjukkan pemahaman yang tidak akurat terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis.
Pertama, sebagai virus HIV tidak menyerang. HIV tidak terdapat di alam terbuka. Tidak ada di air dan udara. Dalam jumlah yang dapat ditularkan dari seseorang yang mengidap HIV/AIDS kepada orang lain hanya terdapat pada darah, air mani, cairan vagina, dan air susu ibu (ASI).
Kedua, HIV tidak akan menulari siapa saja. HIV hanya akan menular:
(a)Kepada laki-laki dan perempuan dewasa yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dari pasangan yang mengidap HIV.
(b)Kepada penyalahguna narkoba (narkotik dan baha-bahan berbahaya) dengan jarum suntik secara bergantian jika di antara mereka ada yang mengidap HIV/AIDS.
(c)Kepada janin yang dikandung seorang perempuan yang mengidap HIV pada saat dalam kandunga, ketika persalinan atau waktu menyusui dengan ASI.
(d)Kepada yang menerima darah melalui transfusi darah yang mengidap HIV.
Dari empat kemungkinan penularan HIV jelas bahwa HIV tidak menyerang tapi menular melalui cara-cara yang sangat khas.
Ketiga, HIV bukan virus yang mematikan. Belum ada laporan kematian karena HIV. Kematian pada orang-orang yang mengidap HIV terjadi pada masa AIDS (setelah tertular antara 5 – 15 tahun) karena penyakit yang disebut infeksi oportunistik, seperti diare dan TBC.
Disebutkan pula dalam berita: ”HUMAN Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) saat ini masih menjadi momok menakutkan bagi manusia. Selain merusak sistem kekebalan tubuh, penyakit ini mampu membunuh penderitanya.”
HIV/AIDS tidak jadi momok yang menakutkan karena bisa dicegah dengan cara-cara yang sangat masuk akal. Dari empat kemungkinan penularan HIV semuanya bisa dicegah dengan cara yang realistis. HIV tidak membunuh penderitanya. Kematian terjadi karena infeksi oportunistik.
Ada pula pernyataan: ”Mengingat saat ini, kalangan remaja begitu mudahnya berhubungan intim dengan pasangannya.”
Kalau seorang remaja ’berhubungan intim’ dengan pasangannya yang tidak mengidap HIV, maka tidak ada risiko penularan HIV.
Lagi pula, fakta yang ada saat ini adalah kasus HIV/AIDS pada ibu rumah tangga dan bayi terus terdeteksi. Maka, perilaku berisiko dilakukan banyak laki-laki dewasa.
Data di Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kaltim menunjukkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Kaltim sampai Februari 1012 tercatat 29.879.
Menurut Pengelola Program KPA Kaltim, Dewi Kartika: “Namun jumlah tersebut masih lebih sedikit dari data real di lapangan.”
Memang, epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Artinya, kasus yang terdeteksi (29.879) digambarkan sebagai puncak gunung es yang menyembul ke atas permuakan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan laut (Lihat Gambar).
Pertanyaannya adalah: Apakah KPA Kaltim mempunyai program yang konkret untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS yang ada di masyarakat?
Ternyata sama sekali tidak ada program yang konkret untuk mendeteksi HIV/AIDS di masyarakat. Hal ini dapat dilihat pada tiga peraturan daerah (perda) tentang pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/02/26/sepak-terjang-perda-aids-prov-kalimantan-timur/ , dan http://edukasi.kompasiana.com/2010/11/27/jangan-hanya-sekadar-menjiplak-thailand/, serta http://edukasi.kompasiana.com/2011/05/04/perda-aids-kota-samarinda-menanggulangi-aids-dengan-tidak-melakukan-hubungan-seksual/).
Menurut Dewi: ”Parahnya, 92 persen penderita HIV/AIDS di Kaltim adalah kelompok usia produktif.”
Kalau kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi pada kelompok usia produktif tentulah hal itu tidak parah karena pada usia itu dorongan seksual kelompok usia produktif sangat besar. Salah cara yang pas untuk menyalurkan dorongan hasrat seksual itu adalah melakukan hubungan seksual.
Celakanya, mereka melakukannya, al. dengan pekerja seks dan waria. Mereka berisiko tinggi tertular HIV karena selama ini mereka tidak menerima informasi yang akurat tentang cara mencegah agar tidak tertular HIV melalui hubungan seksual dengan pekerja seks dan waria.
Dewi juga mengatakan: “Jadi bisa dibayangkan bagaimana kerugian yang disebabkan dengan menurunnya produktivitas penderita HIV/AIDS di usia tersebut.”
Kalau Dewi jeli tentulah persoalan besar akan muncul jika kian banyak ibu-ibu rumah tangga yang tertular HIV dari suami. Kelak bayi yang mereka lahirkan mengidap HIV/AIDS sehingga jumlah penduduk yang mencapai masa ’usia produktif’ akan sedikit. Ini jauh lebih parah daripada kalangan usia produktif yang sekarang tertular HIV.
Lagi pula jika ditangani secara medis kondisi orang-orang yang mengidap HIV/AIDS bisa dijaga, al. dengan pemberian obat antiretroviral (ARV). Persoalannya adalah KPA Kaltim tidak mempunyai mekanisme yang konkret untuk mendeteksi HIV/AIDS pada kalangan ’usia produktif’.
Masih menurut Dewi: ”Pekerja Seks Komersial (PSK) mendominasi penderita HIV/AIDS di Kaltim. Namun pada beberapa kasus ditemukan 24 anak usia dibawah 4 tahun positif HIV.”
Data ini menunjukkan kian banyak laki-laki dewasa penduduk Kaltim yang berisiko tertular HIV jika mereka melakukan hubungan seksual dengan PSK tanpa kondom.
Kasus HIV/AIDS pada 24 anak itu menunjukkan ibu mereka tertular HIV dari suaminya. Ini membuktikan laki-laki dewasa, suami-suami tsb., melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan atau laki-laki yang mengidap HIV, al. PSK.
Selain itu Dewi juga tidak menjelaskan bahwa HIV/AIDS pada PSK bisa jadi justru ditularkan oleh laki-laki dewasa penduduk Kaltim, asli atau pendatang. Risiko laki-laki penduduk Kaltim tertular HIV sangat besar (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2012/03/27/di-kaltim-setiap-malam-34680-laki-laki-%E2%80%99hidung-belang%E2%80%99-berisiko-tertular-hivaids/).
Maka, laki-laki (baca: suami) yang menularkan HIV kepada PSK dan yang tertular HIV dari PSK menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat. Fakta ini selalu ditutup-tutupi karena terkait dengan moralitas (dewasa).
Disebutkan pula ada 48 ibu rumah tangga yang mengidap HIV/AIDS. Dari data ini saja berarti sudah ada lagi 48 laki-laki yang mengidap HIV. Kalau 48 laki-laki ini mempunya istri lain atau pasangan seks lain maka jumlah perempuan yang berisiko tertular HIV kian banyak. Pada gilirannya jumlah anak-anak yang lahir denganHIV/AIDS pun tambah banyak pula.
Dewi berpesan: “Sekarang yang harus diperhatikan adalah bagaimana menjaga pergaulan anak di usia dini, agar jumlah penderita HIV/AIDS berkurang.”
Lagi-lagi mengabaikan fakta terkait dengan kasus HIV/AIDS pada ibu-ibu rumah tangga. HIV/AIDS pada remaja sudah terminal terakhir karena kemungkinan mereka menularkan HIV kepada orang lain sangat kecil. Kemungkinan kepada pacar atau PSK. Tapi, ke PSK pun dengan frekuensi yang kecil karena keterbatasan uang.
Bandingkan dengan laki-laki dewasa, apalagi yang mempunyai penghasilan, tentulah langkahnya akan lebih panjang daripada remaja. Laki-laki dewasa yang tertular HIV akan menularkan pada istri atau perempuan lain yang menjadi pasangan seksnya.
Selama penanggulangan HIV/AIDS hanya pada tahap ’caci-maki’ tanpa langkah yang konkret, maka selama itu pula penyebaran HIV akan terus terjadi di Kaltim. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H