Penyebaran HIV/AIDS melalui orang tua ke anak terus terjadi. Tapi, langkah konkret untuk memutus mata rantai penyebaran HIV dari suami ke istri dan dari ibu-ke-anak yang dikandungnya tidak ada.
Ketiadaan program konkret yang memutus mata rantai penyebaran HIV di masyarakat melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, terus terjadi.
Di Kab Lebak, Banten, misalnya, dikabarkan seorang siswa kelas dua sekolah dasar (SD) dibawa ke RSUD dr Adjidarmo, Rangkasbitung, Lebak, Banten (25/4) dengan gejala gizi buruk. Tapi, setelah diperiksa oleh dokter ternyata anak tsb. terdeteksi mengidap HIV/AIDS (Siswa SD Terdeteksi Idap HIV/AIDS, Harian ”Radar Banten”, 4/5-2012).
Fakta itu menunjukkan penyebaran HIV justru terjadi di lingkungan keluarga.
Baca juga: HIV/AIDS di Lebak, Banten, Banyak Terdeteksi pada Keluarga
Anak itu tertular dari ibunya. Ibunya sudah meninggal sedangkan ayahnya sudah meninggalkan mereka sejak anak itu di dalam kandungan ibu.
Pemaparan yang rinci tentang anak itu membuat identitasnya bisa terkuak. Inisial disebutkan dua huruf. Ini sangat mudah dikenali. Ada pula penjelasan tentang ayah dan ibunya serta yang mengasuhnya. Disebutkan ibu Nu sudah meninggal, ayahnya meninggalkan mereka ketika di dia di dalam kandungan ibunya. Disebutkan pla nama kecamatannya.
Dengan tambahan satu kasus ini maka kasus kumulatif HIV/AIDS di Lebak menjadi 94 dengan 25 kematian.
Dua anggota Fraksi PKS DPRD Lebak, Uweng Suhendi Maring dan Cicih Mustikawati, membesuk bocak itu. Uweng mengeluarkan pernyataan: “Kami sangat prihatin melihat kondisinya.”
Yang diperlukan bukan pernyataan prihatin, tapi perlu langkah-langkah konkret untuk memutus mata rantai penyebaran HIV terutama melalui suami ke istri dan dari ibu-ke-anak yang dikandungnya. Tanpa ada intervensi yang konkret, maka kasus-kasus seperti bocak itu akan terus terjadi.
Menurut Uweng, Pemerintah daerah diharapkan bisa memberikan fasilitas kesehatan yang lebih, atau merujuk ke rumah sakit lain yang ahli di bidang HIV/AIDS.
Semua rumah sakit bahkan puskesmas bisa menangani anak tsb. karena gejalanya adalah kurang gizi. Yang perlu dilakukan adalah memberikan obat antiretroviral (ARV) jika CD4-nya sudah di bawah 350 (CD4 bisa diketahui melalui tes darah di laboratorium). Jadi, bukan merujuknya ke rumah sakit lain karena rumah sakit itu pun bisa menanganinya.
Ketika Orientasi Wartawan di Lebak (Desember 2011) penulis pernah mengusulkan agar Pemkab Lebak membuat regulasi, bisa dalam bentuk peraturan bupati atau peraturan daerah, agar setiap ibu hamil menjalani tes HIV. Ini salah salah satu langkah konkret yang bisa dilakukan agar mata rantai penyebaran HIV dari ibu-ke-bayi yang dikandungnya bisa diputus.
Sayang, dalam Perda AIDS Prov Banten tidak ada pasal-pasal yang konkret untuk mencegah penularan HIV dan menanggulangi penyebaran HIV/AIDS.
Baca juga: Perda AIDS Prov Banten: Menanggulangi AIDS dengan Pasal-pasal Normatif
Atau, pemerintah-pemerintah darah di Banten menunggu terjadi dulu ’ledakan AIDS’ baru membuat regulasi. Kalau ini terjadi maka semanya sudah terlambat. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H