Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hedonisme dan Snobisme Menyuburkan Praktek Penggandaan Uang

4 Oktober 2016   15:55 Diperbarui: 4 Oktober 2016   16:00 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Repro: www.123rf.com)

Kasus Kanjeng Dimas Taat Pribadi bagaikan puncak dari fenomena gunung es karena praktek-praktek penggandaan uang terjadi di mana-mana. Seperti dikatakan oleh sosiolog di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Prof Dr Hotman M Siahaan, yang akrab dipanggil Bang Hotman ini, praktik penipuan ini mampu melibatkan ribuan orang, karena sebagian masyarakat masih bersikap irasional dan terperdaya kebudayaan 'ingin cepat kaya'. Bahkan, seperti dituturkan Bang Hotman ke “BBC Indonesia” (4/10-2016), sosok Marwah Daud Ibrahim, yang dikenal sebagai intelektual dan politikus, meyakini praktik penipuan Taat Pribadi yang disebutnya sebagai 'semacam sulap-sulapan’ itu. "Beliau ini intelektual, akademisi yang terkenal, lalu tiba-tiba sangat irasional melihat perkara ini dan begitu membela Kanjeng Dimas," kata Hotman.

Itu artinya banyak orang mudah terperdaya karena keingingan untuk kaya dan dikesankan cara itu ‘halal’ karena dibumbui dengan ritual agama. Memang, pengalaman orang-orang yang pernah tertipu cara-cara yang dilakukan oleh orang yang mengaku bisa menggandakan uang menunjukkan mereka tertarik karena ada bukti.

Pertama, sebut saja “X” yang akan menggandakan uang diminta oleh pengganda uang sebesar Rp 1 juta. Melalui ritual-ritual tertentu uang itu jadi Rp 10 juta. Selanjutnya, “X” bercerita ke orang lain tentang yang dia alami. Sedangkan si “X” kembali diminta uang Rp 20 juta. Uang ini pun membengkak menjadi Rp 40 juta. Terakhir, “X” diminta agar menggandakan uang yang Rp 250 juta. Hasilnya? “Pengganda uang dan orang-orangnya kabur entah ke mana,” kata seorang teman menceritakan pengalaman kerabatnya. Dengan hitungan-hitungan ini “X” kehilangan uang Rp 202 juta.

Korban selanjutnya adalah orang-orang yang dibawa “X”. Biasanya dengan kiat tertentu orang-orang yang menggandakan uang tidak saling mengetahui apa yang terjadi sehingga bisa dilakukan ‘sekali pukul’ oleh pengganda uang.

Akal sehat memang jungkir balik berkat ‘pancingan’ yang dilakukan pengganda uang. Memang, kadang-kadang juga calon korban dipengaruhi dengan ilmu gaib, seperti gendam, sehingga menuruti semua permintaan pengganda uang.

Padahal, kalau pakai akal sehat ada pertanyaan yang sangat mendasar yaitu: Mengapa pengganda uang itu tidak menggandakan uangnya sendiri? Sama juga dengan orang-orang yang menjual ramalan nomor lotere dan nomor buntut, mengapa bukan dia yang memasang nomor untuk dirinya sendiri?

Celakanya, banyak orang yang mudah terperdaya dengan janji-janji manis pengganda uang karena ada bayangan mendapat uang yang banyak dengan cepat. Seperti yang disampaikan Bang Hotman, maka persoalan penggandaan uang sangat mendasar sehingga tidak akan bisa dibendung dengan jargon-jargon moral dan agama. Sedangkan aspek hukuim pun baru bisa jalan jika ada kasus pengaduan.

Advokasi ke masyarakat akan lebih efektif melalui contoh kasus daripada membawa hal itu ke ranan agama dengan sanksi dosa. Banyak orang yang berkelit dengan mengatakan: Yang haram saja sulit, apalagi yang halal.

Celakanya, ceramah agama-agama hanya menyasar aspek moral semata yaitu sanksi hukuman Tuhan berupa dosa dengan konsekuensi masuk neraka. Ini tidak akan berhasil karena seperti pernah disebutkan oleh alm Gus Dur kepada aktivis anti korupsi Teten Masduki: orang-orang beragama tahu persis cara bertobat untuk menghapus dosa. Ini disebut Gus Dur ketika Teten mengajak Gus Dur melawan korupsi dengan pijakan agama.

Masyarakat memegang peranan yang sangat besar dalam membangun sikap ‘cepat kaya’ karena sifat-sifat hedonisme (menjadikan harga sebagai tujuan hidup) dan snobisme (meniru gaya hidup oran berada) yang mulai menjalar di masyarakat.

Tidak hanya di kota di desa pun sekarang seseorang diidentifikasi berasarkan benda yang dimiliki yaitu perilaku materialistis. Misalnya, Si Badu yang punya motor warta merah. Keluarga Pola yang punya rumah besar. Dst.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun