“Media massa tanpa berita kesehatan jalan terus, tapi kesehatan, terutama kesehatan masyarakat, tanpa di-berita-kan (baca: sosialisasi) tidak akan jalan.” Ini disampaikan oleh dr Zulazmi Mamdy, MPH, pakar kesehatan masyarakat di FKM UI. Artinya, ini adalah pameo di kalangan praktisi kesehatan masyarakat.
Tentu saja dr Zul benar karena adalah hal yang mustahil Menteri Kesehatan dan jajarannya sampai ke kabupaten dan kota membawa TOA (pengeras suara) keliling kampung menjelaskan berbagai macam penyakit dan cara penanggulangannya.
Dalam kasus epidemi HIV/AIDS, misalnya, media berhasil 100 persen menggiring opini publik dengan menyebarluaskan berita dari sumber-sumber yang berkompeten tapi menyesatkan. Berita ini misalnya: tahun 1985 Menkes, ketika itu, Dr Suwardjono Surjaningrat, mengatakan bahwa belum pernah ditemukan orang yang betul-betul terkena penyakit AIDS. Menjawab pertanyaan wartawan, Menkes komentar “Kalau kita taqwa pada Tuhan, kita tidak perlu khawatir terjangkit penyakit AIDS.”
Gunung Es
Ini salah satu pernyataan yang menyuburkan mitos (anggapan yang salah) dan stigmatisasi (pemberian cap buruk) serta diskriminasi (perlakuan yang berbeda) terhadap orang-orang yang tertular HIV, temasuk yang tertular melalui cara-cara yang justru dibenarkan agama, seperti transfusi darah dan transplantasi organ tubuh.
“Dosa” besar pemerintah menyuburkan mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS justru berawal dari penetapan pemerintah terhadap kasus HIV/AIDS pertama yang diakui secara resmi, yaitu ketika seorang wisatawan gay WN Belanda meninggal di RS Sanglah Denpasar dengan indikasi kematian terkait AIDS. Ada beberapa unsur yang menyuburkan mitos, yaitu: gay (homoseksual, sering pula disebut seks menyimpang oleh orang-orang yang membalut lidah dengan moral), orang asing, orang bule, dll.
Dampak buruk penyebaran berita yang tidak akurat itu menyebabkan masyarakat mengabaikan cara-cara melindungi diri. Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian sampai 31 Maret 2015 sudah dilaporkan 233.724 yang terdiri atas 167.339 HIV dan 66.385 AIDS (Kemenkes RI, 2015).
Yang perlu diingat angka yang dilaporkan ini hanyalah sebagian dari kasus yang ada di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus AIDS yang terdeteksi 233.724 digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.
Biar pun epidemi HIV/AIDS sudah masuk tahun ke-35 pada tahun ini, tapi tetap saja ada media massa, media online dan media sosial yang tetap berpegang teguh pada mitos sebagai pijakan berita tentang HIV/AIDS. Kalau kita membaca atau mendengarkan berita di media massa tetap saja akan muncul pengaitan cara penularan HIV/AIDS dengan ‘perilaku menyimpang’, ‘seks bebas’, dll
Padahal, penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual sama sekali tidak ada kaitannya secara langsung dengan sifat hubungan seksual (zina, melacur, seks bebas, seks menyimpang, dll.) karena penularan HIV melalui hubungan seksual terjadi di dalam dan di luar nikah karena kondisi pada saat terjadi hubungan seksual yaitu salah satu atau kedua-duanya mengidap HIV/AIDS dan suami atau laki-laki tidak memakai kondom.
Kondom pun mendapat stigma dari pemberitaan di media massa. Dikesankan sosialisasi kondom sebagai upaya untuk melegalkan zina. Tentu saja ini salah besar karena orang-orabg yang berzina, terutama laki-laki ‘hidung belang’ justru tidak mau pakai kondom karena berbagai alasan. Itu artinya wartawan yang menulis berita tentang kondom tidak melakukan riset dan pengamtan lapangan. Maka, berita itu hanya sebatas talking news yang nilainya sama dengan opini.