Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Grasi Terpidana Narkoba (Awal) Petaka Penegakan Hukum di Indonesia

28 April 2015   11:39 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:36 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14301958171752377947

* Maka, pantaslah Tuan Ki-moon disebut sebagai “Sekjen PBB yang zalim dan lalim” karena bertindak diskriminatif

Sejatinya pembelaan terhadap tersangka dan terpidana dimulai sejak pemeriksaan di polisi untuk Berita Acara Pemeriksaan (BAP) lanjut ke tuntutan jaksan lalu di sidang pengadilan. Selanjutnya di tingkat banding di pengadilan tinggi (PT) dan kasasi di Mahkamah Agung  (MA).

Tapi, yang terjadi dan dilakukan keluarga dan pengacara terpidana mati kasus narkoba justru ‘pembelaan’ setelah grasi melalui peninjauan kembali (PK) dan gugaran ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Padahal, “ ....  PTUN Jakarta tegas menyatakan grasi bukan objek sengketa pengadilan.” (detiknews, 27/4-2015).

Berbagai aksi dilakukan keluarga dan pihak-pihak lain untuk membatalkan eksekusi mati setelah presiden menolak grasi. Tentu saja langkah ini akan merusak tatanan hukum karena jika presiden meralat atau membatalkan grasi itu sama saja dengan perbuatan melawan hukum.

Lagi pula kalau presiden meralat dan membatalkan grasi tidak bisa lagi orang per orang karena kalau ini dilakukan presiden itu artinya terjadi diskrminasi (perlakuan berbeda) yang merupakan perbuatan melawan hukum dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM).

Maka, orang seperti Anggun C Sasmi, dikabarkan sudah pindah kewarganegaraan menjadi WN Perancis, yang melakukan aksi di Paris, Perancis, menolak hukuman mati tentulah langkah yang tidak arif. Mengapa Anggun tidak membayar pengacara handal ketika ada WN Perancis yang ditangkap terkait kasus narkoba?

Agaknya, hiruk-pikuk protes terhadap eksekusi mati terpidana narkoba yang legal berdasarkan hukum positif Indonesia berawal dari kebaikan hati Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di masa kekuasananya yang memberikan grasi atau pengampunan bagi terpidana jaringan “Bali Nine”, Schapelle Leigh Corby. Dengan grasi tsb. Corby pun dapat ‘korting’ kurungan dari 20 tahun menjadi 15 tahun (hukumonline.com, 10/6-2012).

Tersangka-tersangka tsb. dan negaranya pun menganggap warganya akan mendapatkan kemurahan hati dari Presiden Joko “Jokowi” Widodo berupa pengampunan (grasi). Tapi, mereka salah karena Presiden Jokowi dengan teguh memegang prinsip membela warga negaranya dari dampak buruk narkoba. Maka, grasi terpiadana mati kasus narkoba pun ditolak mentah-mentah.

Maklum, puluhan warga negara Indonesia mati sia-sia setiap hari karena narkoba. Indonesia sudah kondisi darurat narkoba. Pasalnya, sedikitnya 50 warga negara Indonesia meninggal dunia akibat mengonsumsi narkoba (news.metrotvnews.com,28/9-2013).

Selain itu ribuan pula penduduk Indonesia yang hidup dengan HIV/AIDS karena tertular HIV/AIDS melalui jarum suntik penyalahgunaan narkoba secara bersama-sama dengan bergantian. Sampai 30 September 2014 Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, melaporkan 8.462 kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada penyalahguna narkoba dengan jarum suntik.

Ketika gong eksekusi mati dikumandangkan, terpidana mati mulai mencari-cari celah untuk membatalkan eksekusi mati. Setelah kalah di banding dan kasasi merekan pun mengajukan peninajuan kembali (PK). Juga kalah. Maka, mereka melayangkan grasi ke presiden.

Ketika grasi ditolak upaya hukum pun buntu sudah. Tapi, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang tidak membatasi PK berbuah pahit bagi pemerintah karena terpidana mati yang sudah ditolak grasinya berkali-laki mengajukan PK, bahkan ada yang menggugat presiden terkait penolakan grasi ke PTUN. Tapi, seperti disebutkan di atas grasi bukan objek peradilan sehingga PTUN menolak gugatan tsb.

Bertolak dari kasua PK berulang-ulang yang diajukan terpidana mati setelah grasi ditolak, maka perlu juga “fatwa” MK atau MA tentang prosedur PK. Misalnya, PK hanya bisa dilakukan sebelum grasi. Ini akan menciptakan susana penegakan hukum karena ada kepastian hukum setelah presiden mengeluarkan hasil grasi.

Sebagai badan yang mengayomi semua negara anggota seharusnya Sekjen PBB Ban Ki-moon bertindak arif dan bijaksana. Tapi, kali ini Tuan Ki-moon ini zalim dan lalim karena hanya membela terpidana mati yang akan dieksekusi yaitu warga negara asing, seperti Australia, Perancis, Filipina, dll.

Masih tergiang di telinga dua tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia dihukum pancung di Arab Saudi bahkan jasadnya pun tidak boleh dibawa pulang. Tapi, Tuan Ki-moon diam seribu basa. Maka, pantaslah Tuan Ki-moon disebut sebagai “Sekjen PBB yang zalim dan lalim” karena bertindak diskriminatif.

Semula pada eksekusi mati jilid satu hanya Australia yang berkoar-koar karena ada warganya yang didor dengan timah panas. Kalau Presiden Jokowi menuruti tekanan Australia untuk membebaskan WN Australia dari hukuman mati setelah grasi ditolak itu sama saja artinya dengan melakukan perbuatan melawan hukum (PM Tony Abbott Dorong Presiden Jokowi Langgar HAM).

Dengan tindakan tegas pemerintah melakukan eksekusi mati terhadap terpidana mati setelah semua jalur hukum dijalani oleh terpidana, maka itu artinya pemerintah memegang amanah sesuai dengan undang-undang. *** [Syaiful W. Harahap] ***

Foto: Demo penolakan granat soal grasi Corby, 7/6-2012 (Repro: hukumonline.com/Sgp)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun