Ada ironi di sebagian besar laki-laki dewasa. Di satu sisi mereka sering tidak menunggu pasangannya sampai orgasme (puncak kenikmatan seksual, khususnya dialami pada akhir sanggama) pada hubungan seksual. Tapi, di sisi lain ada laki-laki yang selalu berusaha agar pasangan seks di kalangan pekerja seks mencapai orgasme.
Celakanya, banyak pula pekerja seks yang hanya pura-pura orgasme agar ’permainan’ cepat selesai. Pekerja seks akan mengkondisikan tubuhnya seperti ketika orgasme dengan erangan dan desahan, tapi laki-laki yang jeli bisa mengetahui kondisi yang sebenarnya dari gerakan tubuh dan desahan pekerja seks (Duka Derita PSK di 'Sarkem' Yogyakarta).
Kabarnya, kalau laki-laki cepat selesai (ada istilah ’peltu’ yaitu nempel metu-baru nempel sudah ejakulasi) akan diejek pekerja seks. ”Kayak bebek!”
Sebaliknya, kalau sanggama akan lama pekerja seks justru ’marah-marah’: Ayo, dong, cepat! Tapi, kalau laki-laki teman kencannya menarik bagi dirinya maka akan ada pujian: ”Wah, kuat juga, ya.” Nah, pujian semu inilah yang dikejar-kejar laki-laki ’hidung belang’.
Maka, perlu suasana yang romantis agar sebelum, selama dan setelah sanggama sentuhan-sentuhan fisik dibarengi dengan kata-kata manis yang saling memuji. Nah, celakanya, sebagian besar laki-laki kalau sudah ejakulasi langsung balik badan, dan.... ngorok.....
Sebaliknya, kalau istri meminta agar bisa orgasme tidak sedikit suami yang marah-marah. Bahkan, bisa terjadi kekerasan baik secara fisik dan verbal.
Seorang perempuan yang curhat mengatakan dia dicaci-maki suaminya jika menggerak-gerakkan badannya untuk mencapai orgasme ketika sanggama: ”Kayak pelacur!” Itulah bentakan yang diterimanya.
Nah, suami itu buka kartu. Koq, tahu kalau pekerja seks melakukan gerakan badan untuk mencapai orgasme? Berarti suaminya itu pernah sanggama dengan pekerja seks.
Itulah yang membuat laki-laki ’hidung belang’ berusaha kuat agar bisa membuat pekerja seks orgasme. Maka, segala macam cara akan mereka lakukan. Mulai dari minim pil, obat oles, dll.
Obat kuat itu pulalah yang bisa membuat jantung laki-laki berhenti berdetak ketika sanggama. Tanpa memakai obat saja jantung sudah berdegup kencang ketika sanggama. Apalagi pakai obat tentulah jantung dipaksa untuk memompa lebih cepat. Mungkin karena melewati batas maksimum degupan jantung malah berhenti. Koit, dah.
Di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, sudah ada beberapa laki-laki yang menghembuskan nafas di atas perut perempuan. Bahkan, ada pejabat dari wilayah timur Indonesia.
Ada pula laki-laki yang ’nakal’ dengan menanam bulu ekor kuda atau batu cincin di penisnya dengan harapan akan lebih kencang ’menggelitik’. Tapi, dinding vagina bagian dalam akan luka sehingga menimbuilkan infeksi.
Padahal, orgasme pada perempuan bukan hanya dipengaruhi oleh rentang waktu hubungan seksual, tapi kondisi emosi ketika sanggama serta foreplay (rangsangan sebelum sanggama).
Sanggama tanpa foreplay merupakan siksaan bagi perempuan karena secara psikologis mereka belum siap ’tempur’. Celakanya, banyak laki-laki yang tidak bisa melakukan foreplay karena berbagai alasan: tidak bisa bersikap romantis, tidak tahan lama, mudah ejakulasi, arogan, dll.
Beda hasrat seks pada laki-laki dan perempuan adalah: laki-laki selalu mau tapi tidak selalu bisa karena setelah ejakulasi sebagian besar laki-laki tidak bisa ereksi lagi para rentang waktu tertentu, sedangkan perempuan selalu bisa tapi tidak selalu mau.
Salah satu faktor yang dikabarkan bisa mendorong perempuan orgasme ketika sanggama adalah rangsangan pada tempat-tempat tertentu di dinding dalam vagina atau di luar vagina.
Di dalam vagina ada titik euforia yang disebut G-spot yaitu sebagai titik yang bisa mendorong perempuan orgasme ketika sanggama.
G-spot berasal dari nama seorang ginekolog Jerman, Ernst Graefenberg, yang pertama kali mengetahui hal itu di tahun 1950. Menurut dia titik itu merupakan tempat yang sangat tinggi sensivitasnya di dalam vagina ketika terjadi rangsangan akan memberikan orgasme yang luar biasa pada perempuan.
Namun, letak G-spot terus diperdebatkan kalangan ahli. Terakhir ada ilmuwan AS yang mengatakan bahwa dia sudah menemukan letak G-spot yaitu di dinding depan dalam vagina. Tapi, ini pun menuai kritik.
Yang jelas orgasme merupakan hak perempuan dalam sanggama yang aman dari penyakit dan tekanan pisik dan psikis serta verbal dan nonverbal.
Di bagian luar vagina ada titik yang bisa merangsang yaitu klitoris (KBBI: daging atau gumpal jaringan kecil yg terdapat pada ujung atas lubang kemaluan perempuan; kelentit) yaitu bagian yang menonjol di luar vagina berbentuk segi tiga. Ini pusat rangsangan sebelum dan selama sanggama. Sebelum sanggama dirangsang dengan rabaan dan gesekan penis, sedangkan selama sanggama gesekan penis akan menyentuh klitoris.
Namun, di beberapa komunitas ada kebiasaan yang mengharuskan perempuan memotong ujung klitoris. Jika ujung yang dipotong besar, maka klitoris tidak lagi peka terhadap rangsangan. Karena pemahaman yang tidak komprehensif terkait dengan pemotongan klitoris itu sebagai budaya atau kepercayaan, maka bisa terjadi klitoris dipotong banyak bahkan bisa rata dengan permukaan vagina.
Belakangan ada advokasi untuk menghentikan pemotongan klitoris. Kalau pun dipotong hanya sebagai persyaratan dengan menyayat saja. Sayang, hal ini dibenturkan dengan agama yang juga tidak menyaratkan pemotongan klitoris secara eksplisit.
Semua terpulang kepada laki-laki (yang ’kesatria’): Apakah tega hanya menikmati sanggama dengan ejakulasi sendiri dengan mengabaikan hak pasangan untuk orgasme? (dari berbagai sumber). ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H