* Sama saja dengan rezim Orba yang mencekoki anak-anak dengan program top-down ....
Berharap datang dengan program yang brilian (cemerlang), eh, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) yang baru, Muhadjir Effendy, malah bikin ‘gaduh’. Dengan alasan untuk meminimalisasi penyimpangan yang dilakukan siswa di luar jam sekolah, Pak Menteri ini pun menggagas belajar di sekolah sehari penuh/full day school (detiknews, 9/8-2016).
Padahal, yang diutamakan oleh Presiden Joko Widodo adalah pemerataan kesempatan bersekolah dengan menyerbarluaskan cakupan Kartu Indonesia Pintar (KIP). Kepala Pusat Studi Kebijakan Publik Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Ali Munhanif, berpendapat bahwa Anies selama ini memang memiliki citra positif dalam membangun terobosan bagi sistem pendidikan di Indonesia.
Namun program-program itu bukanlah yang diprioritaskan oleh Presiden. Jokowi, lanjut dia, lebih berfokus pada hal yang lebih substantif seperti program Kartu Indonesia Pintar yang dapat membantu siswa tidak mampu (kompas.com, 6/8-2016).
Aktivitas Sosial
Alasan Pak Menteri menyelenggarakan pengajaran sehari penuh tentu saja sangat naif karena penyimpangan tidak hanya terjadi di luar jam sekolah. Pada jam-jam belajar pun bisa terjadi penyimpangan, misalnya, anak-anak yang tawuran bolos sekolah. Bisa juga dilakukan pas pulang sekolah seharian atau di hari libur resmi dan libur karena guru-guru rapat, bakan di malam hari.
Jadi teringat waktu kecil, masa SR/SD dan SMP, nun di kampung di Kota Padangsidimpuan, Tapanuli bagian Selatan, Sumatera Utara. Pulang sekolah dilanjutkan dengan bejalar di madrasah. Ini dilakukan setelah mengurus rumah dan adik-adik serta mengurus ternak. Selesai belajar di madrasah dilanjutkan dengan bermain sepak bola.
Selain itu juga mengurus adik-adik dan membantu orang tua di sawah dan di ladang. Membawa bekal ke sawah atau ladang, dan pekerjaan-pekerjaan rumah lain serta sosialisasi dengan lingkungan.
Itu semua adalah bagian dari kehidupan keseharian yang menjadi bagian dari aktivitas sosial. Jika seharian di sekolah, maka banyak hal yang hilang dan kondisi itu justru bisa memicu perilaku-perilaku asosial di kemudian hari. Anak-anak tidak lagi hidup dengan realitas sosial, tapi mereka hidup di ‘menara gading’ dengan suasana lingkungan yang tidak kondusif karena berada di bawah tekanan.
“Full Day School” itu pun akan mengebiri peran orang tua dalam mendidik anak-anak di lingkungan keluarga. Begitu juga upaya melatih anak-anak menjaga adik, menyediakan susu, memasak, dan lain-lain pekerjaan rumah. Memang, ada yang sudah membayar pembantu rumah tangga (PRT) atau baby sitter, tapi tidak sedikit orang tua yang selalu melatih anak-anak mengerjakan pekerjaan rumah biar pun ada PRT. Nah, dengan sekolah seharian upaya melatih anak-anak pun pupus sudah.
Bagi keluarga yang mempunyai kegiatan ekonomi di rumah, seperti membuat kue, menjahit, dll. Tentulah bantuan anak-anak sangat berarti. Ini bukan mempekerjakan anak-anak, tapi melatih mereka mempunyai jiwa wirausaha. Kewirausahan menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan suatu bangsa karena membuka lapangan kerja.