Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Florence Part II: Lagi-lagi “Kicauan” Tentang Kota Bandung Yang Berakhir ke Ranah Hukum

6 September 2014   21:09 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:26 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14099872631078923376

Adalah Wali Kota Bandung, Ridwan Kamil, yang melaporkan pemilik akun Twitter @kemalsept karena kicauannya di Twitter: "BANDUNG SAMPAH KOTA P*R*K P*LAC*R SEMUA LOL HAHAHAHA LAPOR? BANCI ! SILAHKAN AJA KALO BERANI HAHAHAHAHAHA,"

Dalam jurnalistik kicauan itu merupakan opini karena tidak didukung fakta empiris. Itu artinya pernyataan yang berbentuk opini bisa tersandung hukum karena tidak dilindungi UU.

Maka, tidaklah berlebihan kalau kemudian Pak Wali Kota melaporkan @kemalsept ke polisi karena menurut Pak Wali  kicauan @kemalsept melawan hukum sesuai dengan Pasal 27 UU No 11 Tahun 2008 tentang Internet dan Transaksi Elektronik (ITE): Twitter @ridwankamil (5/9/2014) tertulis:"@kemalsept anda secara resmi sy laporkan ke kepolisian, utk twit2 penghinaan. psl 27 UU 11 thn 2008,"

Ini bunyi Pasal 27 UU Nomor 11 Tahun 2008: "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. Ancaman pidana Pasal 45(1) KUHP. Pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Di KUHP juga diatur perbutan yang menyebarkan fitnah, penghinaan, perbuatan tidak menyenangkan, dll. diatur di pasal 310 KUHP dan atau Pasal 311 tentang penghinaan dan pencemaran nama baik dengan ancaman 1 tahun 4 bulan dan paling lama 4 tahun.

Florence dilaporkan oleh LSM di Yogyakarta dengan pasal UU ITE dan KUHP. @kemalsept dilaporkan ke polisi dengan pasal UU ITE.

Dalam dunia jurnalistik yang dilindungi UU adalah fakta empiris, seperti data. Di dunia jurnalistik dikenal kode etik, al. Kode Etik Jurnalistik-PWI. DiPasal 3 disebutkan:Wartawan Indonesia pantang menyiarkan karya jurnalistik (tulisan, suara, serta suara dan gambar) yang menyesatkan memutar balikkan fakta, bersifat fitnah, cabul serta sensasional.

Maka, jika ditilik dari kode etik, maka “kicauan” @kemalsept itu bisa dikategorikan sebagai fitnah karena tidak ada data. (Florence dan Kebebasan Berekspresi di Media Sosial dan Blog).

Biar pun secara kasat mata memang ada P*R*K dan P*L*C*R di Kota Bandung, tapi tweet itu tidak menunjukkan fakta tentang praktek, maaf, perek dan pelacur di Kota Bandung.

Memang, secara hukum praktek pelacuran dilarang di Indonesia, tapi secara de facto praktek pelacuran terjadi di semua daerah. Ada yang terbuka dalam bentuk lokasi, tapi lebih banyak yang tersembunyi dengan berbagai tameng, seperti salon plus-plus, panti pijat plus-plus, karaoke, dll. Bahkan, pelacuran “kelas atas” memakai telepon dan media sosial sebagai perantara.

Kalau saja @kemalsept menuliskan perek dan pelacur secara deskriptif (KBBI: pemaparan atau penggambaran dng kata-kata secara jelas dan terperinci), misalnya menceritakan pengalaman dia ke tempat-tempat yang ada pelacuran maka ini fakta bukan opini.

Pengalaman penulis pertama kali mengidap di Bandung (1972) di sebuah penginapan, dulu di dekat terminal Kebon Kelapa, tengah malam pintu kamar diketuk, ketika pintu kamar saya buka ada seorang laki-laki dan perempuan di depan kamar: “Oom, udara ‘kan dingin. Perlu pemanas.”

Saya sudah menangkap maksud laki-laki itu. Adegan selanjutnya, ah, .... sensorlah ......

Kalau saja @kemalsept menuliskan pengalamannya terkait dengan perek dan pelacur, itu artinya fakta bukan opini.

Maka, jika ingin lolos dari jeratan hukum di media massa dan media sosial (Facebook, Twitter, Path, Blog, dll.), menulislah pada koridor hukum dengan cara mengacu ke Kode Etik Jurnalistik dan UU yang terkait.

Soalnya, media sosial bukan tempat untuk menyebarkan fitnah, kabar bohong, caci-maki, ejekan, dll.

Untuk itulah media sosial juga diatur agar tidak dipakai secara serampangan. *** [Syaiful W. Harahap] ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun