Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Efektifkah Isu Agama untuk Membela Rohingya?

2 Februari 2017   22:20 Diperbarui: 3 Februari 2017   09:06 981
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pengaitan agama denga bangsa, suku, dan etnis menjadi persoalan besar karena tidak mencermikan realitas masyarakat. Misalnya, ada kesan luas bahwa orang Batak identik dengan agama Kristen. Tentu saja ini tidak objektif karena tidak ada kaitan langsung antara bangsa, suku dan etnis dan agama karena di bangsa, suku dan etnis manpun tidak ada yang satu agama secara murni seratus persen.

Itulah sebabnya ada marga-marga di Tapanuli bagian selatan yang justru tidak mau disebut sebagai orang Batak karen mereka memeluk agama Islam. Maka, dikenallah suku Angkola dan Mandailing. Angkola pun berkembang jadi Angkola, Angkola Julu, Angkola Jae, Padang Lawas dan Sibuhuan. Mandailing dikenal pula da Mandailing Julu, Mandailing Godang, Mandailing Jae dan yang tidak terkait langsung yaitu Batang Natal dan Natal. Tapi, warga di Angkola dan Mandailing tidak semuanya beragama Islam.

Dunia Islam merasa terpanggil karena perlakuan terhadap etnis Bosnia, yang mayoritas beragama Islam di Republik Bosnia dan Herzegovina serta Rohingya di Myanmar (d/h. Birma) yang juga mayoritas beragama Islam, disebutkan terjadi karena agama. Bosnia dan Rohingya dikaitkan langsung dengan Islam. Lebih jauh ada pula isu genosida dalam kasus Bosnia dan Rohingya.

Di Bosnia dan Herzegovina ada tiga kelompok etnis yaitu Bosnia, Serbia dan Kroasia, sedangkan di Myanmar Rohingya bermukim bersama komunitas terbesar yaitu Rakhine yang mayoritas pemeluk agama Buddha. Maka, perlu dikaji apa di balik perlakuan terhadap muslim Bosnia dan khususnya Rohingya.

Pemerintah Myanmar yang sekarang ada di tangan Aung San Suu Kyiyang merupakan tokoh demokrasi dikabarkan ‘membiarkan’ kekerasan terhadap Rohingya. Tentu saja timbul pertanyaan: Mengapa hal itu (bisa) terjadi?

Ada kemungkinan Myanmar merasa tidak memerangi Islam tapi Rohingya. Analisis Siegfried Wolf, Kepala Bidang Penelitian di South Asia Democratic Forum (SADF) di Brussel, dan peneliti di Universitas Heidelberg, Insitut South Asia, bisa jadi pintu yang objektif ke arah duduk soal Rohingya [Rohingya, Sebenarnya Bukan Konflik Agama (dw.com, 31/8-2015)].  

Komunitas warga Rakhine yang hidup berdampingan dengan Rohingya merasa didiskriminasi secara budaya, juga tereksploitasi secara ekonomi dan disingkirkan secara politis oleh pemerintah pusat, yang didominasi etnis Burma. Rakhine adalah pribumi di tanah mereka, sedangkan Rohingya pendatang dari Bengal ketika itu bagian dari India, yang kini jadi Bangladesh, di masa Inggris menguasai Myanmar, ketika itu Birma. Ada riwayat yang menyebutka Inggris mempersenjatai Rohingya melawan komunitas setempat, dan di akhir PD II Rohingya juga membantu sekutu menghadapi Jepang. Diperkirakan komunitas Rohingya sekitar 1,1 jua jiwa.

Celakanya, dalam situasi berdampingan itu Rakhine menganggap Rohingya sebagai saingan tambahan dan ancaman terhadap keberadaan mereka sebagai bagian dari warga Myanmar. Menruut Wolf, inilah peyebab utama ketegangan antara Rakhine dan Rohingya di negara bagian itu sehingga berujung pada sejumlah konflik senjata antar kedua kelompok.

Dalam suasana yang tidak harmonis itu seara politis komunitas Rakhine kemudian merasa dikhianati oleh komunitas Rohingya karena Rohingya tidak memberikan suara kepada Rakhine. Di mata Wolf situasi ini menjadi pemicu sehingga pertikaian pun meruncing yang akhirnya meningkatkan ketegangan. Celakanya, pemerintah Myanmar tidak mendorong rekonsiliasi antara Rakhine dan Rohingya malah sebaliknya mendukung fundamentalis Buddha. Ini dilakukan pemerintah untuk mempertahankan kekuasaan di daerah yang kaya sumber alam tsb.

Biar pun Myanmar mendukung fundamentalis Rakhine yang mayoritas pemeluk Buddha pemerintah tetap menganggap itu bukan kekerasan terhadap Islam yang jadi agama mayoritas Rohingya.

Lebih jauh Wolf mengatakan bahwa konflik horizontal antar agama di Myanmar, khususnya di Rakhine, dikondisikan bahwa Islam adala ancaman terbesar bagi Buddha. Kondisinya kian pelik karena Myanmar ‘dikelilingi’ oleh negara-negara dengan penduduk mayoritas Islam, seperti Bangladesh, Malaysia dan Indonesia. Di-setting pula bahwa Rohingnya  sebagai ancaman terhadap gaya hidup dan kepercayaan Buddha dan bisa jadi jalan menuju islamisasi Myanmar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun