“Kalian ini para PeeSKa (maksudnya pekerja seks komersial/PSK-pen.) mudah cari uang. Tinggal angkat rok.” Itulah yang sering dilontarkan orang kepada PSK. Kesan itu muncul dari gambaran yang selalu disiarkan televisi yang menunjukkan kemeriahan di tempat-tempat hiburan malam dan pelacuran.
Padahal, “Itu anggapan yang sangat menyakitkan,” kata Sri Suhartiningsih, yang dipanggil Herni, pendamping PSK di Jalan Pasar Kembang, dikenal sebagai ’Sarkem’, sebuah lokasi pelacuran di sebelah selatan stasiun kereta api Tugu, Yogyakarta. Herni, 42 tahun, memberikan gambaran riil tentang ‘penghasilan’ PSK.
Di ‘Sarkem’ tarif untuk ‘short time’ Rp 70.000. PSK harus mengeluarkan uang untuk sewa kamar Rp 10.000, calo Rp 10.000, minum, makan dan rokok Rp 15.000. Bagi yang kos di luar ‘Sarkem’ bayar ongkos beca Rp 10.000. Maka, kalau seorang PSK hanya kebagian satu ‘tamu’ satu malam, maka dia hanya mengantongi Rp 25.000.
Seperti yang dialami oleh Tia, nama samaran, 30-an tahun, malam itu (9/6-2011). Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 23.00, tapi Tia baru dapat satu ’tamu’ (laki-laki ’hidung belang’). Di hanya duduk sambil menyedot kopi susu panas. Sesekali dia melirik ke luar melalui kaca nako. Di gang berukuran 75 cm itu lalu-lalang laki-laki sambil melirik. Tapi, tidak ada yang mampir. Jarum jam mendekati angka 12 yang menunjukkan hampir tengah malam.
”Masuk, Mas....ayo...silakan,” kata Herni kepada seorang laki-laki setengah baya yang memakai jaket kulit. ”Ah, tadi ’kan sudah,” kata Tia sambil melirik laki-laki itu. Rupanya, laki-laki itu sudah ’ngamar’ (melakukan hubungan seksual) dengan Tia beberapa jam sebelumnya. Tia berdiri dan menarik tangan laki-laki itu masuk ke kamar. Malam itu Tia melayani dua laki-laki ’hidung belang’.
”Saya memilih tidak dapat uang daripada meladeni laki-laki yang tidak mau memakai kondom,” kata Tia, sambil menyibak rambutnya. Perempuan ibu dua anak yang berasal dari pesisir utara Jateng itu memilih tidak dapat uang daripada dapat penyakit.
Kondom yang diedarkan di ’Sarkem’ diperoleh pendamping gratis, tapi karena mereka butuh ongkos maka kondom pun ’dijual’ ke PSK Rp 500/strip yang berisi tiga buah kondom.
Berkali-kali dia harus bertengkar dengan laki-laki di kamar karena laki-laki tsb. ingkar janji. Sebelum ’ngamar’ laki-laki tsb. berjanji akan memakai kondom. Tapi, di dalam kamar laki-laki tsb. menolak memakai kondom.
Tia minta sewa kamar karena jika pintu sudah ditutup itu artinya kamar dipakai biar pun tidak terjadi transaksi seksual dan Tia harus membayar Rp 10.000. Sambil melemparkan uang laki-laki yang ditolak Tia biasanya mengomel atau mencaci. Sering juga terjadi keributan karena laki-laki memaksa PSK meladeninya tanpa kondom atau tidak mau membayar sewa kamar. ”Ya, kalau sudah ribut (di sana disebut ’gegeran’) kita serahkan ke pihak keamanan,” kata Herni.
”Ah, saya tidak merasa terpaksa memakai kondom,” kata laki-laki yang baru ’ngamar’ dengan Tia. Laki-laki yang bekerja sebagai pegawai itu mengaku selalu pakai kondom kalau ’ngamar’.
Tapi, ada persoalan yang dihadapi PSK terkait dengan menolak laki-laki yang tidak mau memakai kondom. Menurut Herni, PSK harus memilih antara menolak laki-laki yang tidak memakai kondom dengan kebutuhan untuk memperoleh uang. Jika terus-menerus menolak laki-laki yang tidak memakai kondom maka mereka tidak akan mendapat uang. Padahal, tiap hari mereka butuh uang untuk menyambung hidup.
Padahal, terkait dengan upaya untuk memutus mata rantai penyebaran IMS (infeksi menular seksual, seperti sifilis, GO, klamidia, hepatitis B, dll.) dan HIV melalui hubungan seksual di lokasi pelacuran diperlukan ketegasan PSK untuk menolak laki-laki yang tidak memakai kondom. Tapi, karena posisi tawar PSK sangat lemah maka mereka dihadapkan pada pilihan yang sulit.
Berbagai peraturan, seperti peraturan daerah (Perda) hanya membidik PSK sebagai ’sasaran tembak’ terkait dengan kewajiban memakai kondom. Bahkan, ada perda yang tidak tegas, seperti Perda AIDS DI Yogyakarta.
Baca juga: Tanggapan terhadap Perda AIDS Daerah Istimewa Yogyakarta dan Perda AIDS Yogyakarta Mengabaikan (Praktek) Pelacuran di Sarkem
Memang, jika mereka meladeni laki-laki tanpa kondom ada risiko tertular IMS atau HIV atau dua-duanya sekaligus. Tapi, bak kata mereka: ”Kalau tidak meladeni laki-laki mereka tidak bisa makan dan hanya bertahan beberahap hari, sedangkan kalau tertular HIV kematian baru terjadi belasan tahun kemudian.”
Untuk memberdayakan PSK, Herni memberikan jalan keluar yaitu pemerintah daerah membantu biaya sewa pondokan sehingga PSK tidak membayar sewa kalau ’ngamar’. Soalnya, sebagian PSK mondok di rumah-rumah yang dikategorikan sebagai penginapan itu dengan tarif rata-rata Rp 400.000/bulan.
Herni sendiri menyewa rumah dengan dua kamar yang disewakan untuk PSK Rp 2,5 juta/bulan. Padahal, kalau dihitung-hitung pendapatan Herni dari sewa kamar rata-rata Rp 1,8 juta/bulan. Itulah sebabnya Herni juga jualan miniman dan menyedikan karaoke untuk disewa.
Dulu di ’Sarkem’ ada klinik yang digagas PKBI Yogyakarta yaitu ’Griya Lentera’. ”O, yang urus cewek-cewek nakal itu,” kata seorang pemuda bertattoo di punggung ketika saya tanya tentang klinik tsb. ”Sudah tidak ada, Mas.” Setelah tanya sana tanya sini akhirnya saya dibawa ke Herni yang dikenal sebagai aktivis ’Bunga Seroja’ (semacam paguyuban) yang menyediakan kondom (mereka sebut outlet) dan pendampingan untuk PSK.
Karena tidak semua PSK bisa menolak laki-laki yang tidak memakai kondom, maka kasus IMS dan HIV pun terdeteksi pada PSK. Pada sebuah survailans, misalnya, terdeteksi 7 kasus GO dan 105 jengger ayam. Pada survailans berikutnya pernah pula ditemukan contoh darah PSK yang reaktif terhadap reagent tes HIV.
Kasus-kasus IMS dan HIV yang terdeteksi melalui survailans itu pun menggegerkan aparat setempat, terutama dari kantor camat. Sekretaris kecamatan mengancam akan ’menggaruk’ PSK yang tidak mau mengikuti survailans tes IMS dan HIV. Berkat pendekatan Herni rencana itu tidak dilakukan.
Ya, itulah yang selalu terjadi. Ada kesan PSK sebagai sumber IMS dan HIV. Padahal, IMS dan HIV yang terdeteksi pada PSK itu ditularkan oleh laki-laki ‘hidung belang’ penduduk Yogyakarta atau pendatang. Dengan jumlah 400 PSK di ‘Sarkem’, maka setiap malam ada 800 – 1.200 laki-laki ‘hidung belang’ yang berisiko tertular IMS dan HIV atau dua-duanya sekaligus.
Kenyataan itulah yang luput dari perhatian pemerintah daerah, terutama Pemkot Yogyakarta. Maka, tidak mengherankan kalau kasus HIV/AIDS di Yogyakarta terus bertambah seiring dengan penemuan kasus baru melalui tes HIV, terutama di klinik VCT. Sudah 75 kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga di Kota Yogyakarta. Ini menunjukkan suami mereka melakukan hubungan seksual dengan perempuan lain, al. dengan PSK, tanpa kondom.
Tiap bulan ada survailans IMS dan HIV di ‘Sarkem’, tapi yang jadi persoalan besar adalah jika ada PSK yang terdeteksi IMS dan HIV tidak ada program yang konkret untuk meredam penularan IMS atau HIV dari laki-laki ‘hidung belang’ ke PSK atau sebaliknya.
Yang dilakukan hanyalah memberikan obat dalam program PPB (pengobatan persumtif berkala) setiap bulan. Satu kali minum ada empat kapsul. Celakanya, ada PSK yang menganggap obat itu sebagai ‘vaksin’ untuk IMS dan HIV. Hal ini akan mendorong penyebaran IMS dan HIV karena PSK merasa tidak berisiko (lagi) meladeni laki-laki tanpa kondom jika ‘ngamar’.
Banyak laki-laki ‘hidung belang’ yang tertipu karena PSK bisa pura-pura sudah orgasme. Tapi, “Ada juga yang tahu kalau saya bohong,” kata Tia tentang upayanya mengelabui laki-laki agar merasa puas. Rupanya, PSK akan menikmati hubungan seksual dengan pacar. Seperti Tia, mengaku mencapai kepuasan dengan pacarnya. Tapi, mereka justru tidak memakai kondom ketika sanggama dengan pacar. Padahal, tidak ada jaminan pacar mereka tidak melakukan hubungan seksual dengan perempuan lain.
Karena (praktek) pelacuran tidak bisa dibasmi, maka Pemkot Yogyakarta jauh lebih baik meregulasi ‘Sarkem’ sebagai lokasi pelacuran agar program ‘wajib kondom 100 persen’ bisa diterapkan dengan sanksi teguran, denda, pencabutan izin usaha sampai pidana kurungan. Sanksi bukan kepada PSK, tapi kepada mucikari yang memegang izin usaha penginapan.
Maka, semua kegiatan pelacuran di luar ‘Sarkem’, seperti di rumah-rumah kontrakan, kos-kosan, losmen, hotel melati dan hotel berbintang diberikan sanksi berat mulai dari denda, pencabutan izin usaha sampai kurungan badan.
Praktek pelacuran di luar ‘Sarkem’, seperti di losmen dan hotel, ibarat membuang jarum ke semak-semak. Tidak bisa dilihat dengan mata, tapi bisa dilihat dengan hati.
Program ’wajib kondom 100 persen’ tidak bisa diterapkan pada pelacuran di luar ’Sarkem’, sehingga transaksi seks akan menjadi mata rantai penyebaran IMS atau HIV atau dua-duanya sekaligus.
Jadi, jangan heran kalau penyebaran IMS dan HIV akan terus terjadi di Kota Yogyakarta karena praktek pelacuran terjadi di banyak tempat yang tidak bisa dikontrol. *** [Syaiful W. Harahap] ***
Ilustrasi (Repro: rizqyprimasatya.wordpress.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H