“Jatim dorong Surabaya segera Tutup lokalisasi Dolly.” Ini informasi di news ticker “TVOne” (23/10-2010). Ada lagi berita di Harian Jurnal Nasional dengan judul: “Penyebaran HIV/AIDS Meningkat, Dolly Bakal Ditutup.” (30/3-2010). Berbagai pandangan dan pendapat berupa opini yang moralistis menjadi wacana penutupan Dolly, lokalisasi pelacuran di Surabaya, Jawa Timur. Wacana moralitas itu menutup akses pembahasan dari aspek kesehatan masyarakat.
Ternyata biar pun epidemi HIV sudah dikenal di Indonesia sejak tahun 1987 dan informasi yang akurat tentang HIV/AIDS sudah tersebar luas, tapi tetap saja ada yang ’buta’ terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis.
Dalam berita di Jurnal Nasional disebutkan “Tingginya tingkat penyebaran virus HIV/AIDS yang diidap para pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi Dolly di Surabaya, Jawa Timur, menyebabkan wacana menutup kompleks pelacuran ….” Ada fakta yang luput atau digelapkan dalam pernyataan ini yaitu: orang yang menularkan HIV kepada PSK. Dalam kaitan ini adalah laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, lajang, duda yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, mahasiswa, sopir, kondektur, nelayan, patini, pedagang, perampok, dll.
Perda AIDS Mandul
Alasan untuk menutup Dolly adalah karena tingkat infeksi HIV di kalangan PSK. Padahal, yang menularkan HIV kepada PSK justru laki-laki bisa penduduk lokal Surabaya atau pendatang. Ketika ada PSK yang tertular HIV dari pelanggannya maka laki-laki yang kemudian mengencani PSK tadi tanpa kondom berisiko pula tertular HIV.
Di negara-negara yang tidak mempunyai lokalisasi pelacuran secara de jure dan de facto pun tetap saja ada kasus HIV/AIDS yang dilaporkan. Di Arab Saudi, misalnya, yang menerapkan kitab suci sebagai UUD tetap saja ada kasus HIV/AIDS. Data terakhir sudah dilaporkan lebih dari 13.000 kasus AIDS. Begitu pula dengan negara-negara lain di kawasan Timur Tengah yang tidak mengizinkan pelacuran dan ‘dugem’ tetap saja banyak kasus HIV/AIDS yang dilaporkan. Lagi pula (praktek) pelacuran sering terjadi secara terselubung di rumah atau hotel.
Biar pun Dolly ditutup tetap saja terjadi praktek pelacuran, seperti di motel, losmen, hotel melati, hotel berbintang, rumah kos, rumah kediaman, kondominium, flat, aparetemen, taman, hutan, pantai, dll. Hubungan seksual pada pelacuran yang tidak menerapkan ‘seks aman’ (laki-laki tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual) itulah yang mendorong penyebaran HIV.Maka, yang menjadi pemicu penyebaran HIV bukan lokalisasi dan PSK, tapi laki-laki ‘hidung belang’ yaitu laki-laki yang sesekali atau sering melakukan hubungan seks tanpa memakai kondom, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan di lokalisasi atau di luar lokalisasi.
Jika ditilik dari aspek kesehatan masyarakat maka kehadiran lokalisasi pelacuran adalah untuk memutus mata rantai penyebaran IMS (infeksi menular seksual yaitu penyakit-penyakit yang menular melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam atau di luar nikah, seperti GO, sifilis, klamidia, herpes, virus hepatitis B, dll.) dan HIV dari PSK ke masyarakat melalui laki-laki ‘hidung belang’.
PSK yang ‘praktek’ di lokalisasi dicek kesehatannya secara rutin sehingga laki-laki yang melakukan hubungan seks dengan PSK terhindar dari IMS. Selain itu ada pula regulasi yang mewajibkan laki-laki memakai kondom jika sanggama dengan PSK.
Upaya memutus mata rantai penyebaran IMS dari PSK ke masyarakat melalui laki-laki ‘hidung belang’ sudah dilakukan oleh Yayasan Kerti Praja di Denpasar, Bali. Setiap hari Jumat PSK dijemput ke klinik untuk pemeriksaan kesehatan, khususnya terkait IMS. Kegiatan ini juga ‘ditentang’. Bahkan, seorang wartawan menuding Prof Dr DN Wirawan, ketua yayasan, sebagai ‘pelindung pelacur’.
Sedangkan program ‘wajib kondom 100 persen’ pada hubungan seksual di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir sudah diterapkan di Thailand. Hasilnya, terjadi penurunan insiden infeksi HIV baru di kalangan dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK. Program ini ‘diadopsi’ oleh beberapa daerah melalui peratuan daerah (Perda), tapi tidak komprehensif sehingga hasilnya nol besar.
Sebut saja Perda Prov Jawa Timur No 5/2004 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Jawa Timur, Perda Kota Probolinggo No 9/2005 tentang Pencegahan dan Penanggulangan AIDS, dan Perda Kab Malang No 14/2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS di Kabupaten Malang. Ketiga perda ini sama sekali tidak menyentuh akar persoalan penyebaran HIV melalui hubungan seksual berisiko dengan PSK.
Pencegahan yang ditawarkan di Perda AIDS Jatim, misalnya, di pasal 3 ayat 3 huruf c disebutkan: Dalam rangka penanggulangan penyebarluasan HIV/AIDS di Propinsi Jawa Timur, Propinsi dan masyarakat Jawa Timur berkewaiiban untuk Melaksanakan penanggulangan Penyakit Menular Seksual (PMS) secara terpadu dan berkala di tempat‑tempat perilaku beresiko tinggi termasuk di dalamnya keharusan penggunaan kondom 100%. Tapi, tidak ada mekanisme yang konkret dalam menerapkan pasal ini.
Hal yang sama terjadi pada Perda AIDS Kota Probolinggo. Pada pasal 4 ayat 3 huruf c disebutkan: Dalam rangka pencegahan dan penanggulangan penyebarluasan HIV/AIDS Pemerintah Daerah dan masyarakat berkewajiban untuk melaksanakan penanggulangan Penyakit Menular Seksual (PMS) secara terpadu dan berkala di tempat-tempat perilaku beresiko tinggi, termasuk didalamnya menghimbau penggunaan kondom.
Membalik Paradigma
Begitu pula dengan Perda AIDS Kab Malang. Pada pasal 10 ayat(1) Setiap orang yang melakukan hubungan seksual beresiko wajib menggunakan kondom’ dan ayat (2) Setiap pelanggan penjaja sekswajib menggunakan kondom pada saat berhubungan seks. Tapi, lagi-lagi tidak ada mekanisme yang konkret untuk menjabarkan pasal.
Jika di satu daerah tidak ada lokasi atau lokalisasi pelacuran maka ada anggapan bahwa daerah itu bebas dari PSK. Ini anggapan yang ngawur bin ngaco karena (praktek) pelacuran tetap saja terjadi di sembarang waktu dan sembarang tempat. Dampak dari (praktek) pelacuran yang tidak dilokalisir adalah PSK tidak bisa dikontrol sehingga penyebaran penyakit IMS dan HIV terus terjadi. Ini bisa dilihat di daerah-daerah yang tidak ada lokalisasi kasus IMS dan HIV terus terdeteksi.
Kasus IMS dan HIV di kalangan ibu-ibu rumah tangga membuktikan suami mereka melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan lain. Perempuan lain itu bisa seorang PSK langsung (PSK di lokasi atau lokalisasi pelacuran) atau PSK tidak langsung (’cewek bar’, ’anak sekolah’, ’mahasiswi’, perempuan pemijat di panti pijat plus-plus, karyawan salon di salon plus-plus, dll.), atau pelaku kawin-cerai.
Di bagian lain disebutkan pula “ ….. Pemerintah Provinsi Jatim mendesak Pemerintah Kota Surabaya untuk segera menutup Dolly. Apalagi, tahun 2010 ini, Jatim menduduki urutan kedua provinsi dengan tingkat penyebaran HIV/AIDS tertinggi di Indonesia ….” Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan merupakan kasus kumulatif yang akan terus bertambah karena kasus lama akan ditambah dengan kasus baru. Penemuan kasus merupakan langkah konkret untuk memutus mata rantai penyebaran HIV. Di daerah yang kasus HIV/AIDS-nya rendah bukan berarti daerah itu ’aman’ karena ada kemungkinan upaya mendeteksi kasus HIV di masyarakat rendah. Akibatnya, penemuan kasus jarang sehingga angka kecil atau rendah. Kasus-kasus yang tidak terdeteksi kelak akan menjadi ’bom waktu’ ledakan epidemi AIDS.
Disebutkan pula: ”Jika pemkot tidak segera menutup lokalisasi, maka pemkot harus bertanggung jawab atas menularnya penyakit AIDS.” Apakah bisa dibuktikan bahwa semua kasus HIV dan AIDS yang terdeteksi di Surabaya atau Jawa Timur berasal dari Dolly? Ini anggapan yang sangat naif karena penduduk Surabaya dan Jawa Timur bepergian ke luar daerah bahkan ke luar negeri. Bisa saja terjadi ada di antara mereka yang tertular di luar Surabaya dan Jawa Timur sehingga mereka menjadi mata rantai penyebaran HIV ketika pulang ke Surabaya.
Lagi pula yang menularkan HIV kepada PSK di Dolly adalah laki-laki penduduk Surabaya atau pendatang. Penyebaran HIV antar penduduk dilakukan oleh laki-laki yang tertular HIV dari PSK.
Bertolak dari fakta terkait penyebaran IMS dan HIV: Mengapa Pemprov Jatim dan Pemkot Surabaya tidak membalik paradigma dalam menangani Dolly? Bukan Dolly yang ditutup, tapi penduduk yang diminta tidak melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK di Dolly.
Jika Dolly ditutup bukan otomatis tidak ada lagi pelacuran di Surabaya. PSK Dolly yang dipulangkan pasca penutupan pun akan kembali ke Surabaya atau kota lain di Indonesia. Bersamaan dengan itu akan muncul pula PSK-PSK baru. Satu PSK dipulangkan ratusan PSK (baru) akan datang.
Ada lagi pernyataan: ”Setelah penutupan, Pemkot Surabaya harus dapat memberi pembinaan, keterampilan, dan mengawasi para PSK yang pulang ke kampungnya masing-masing agar tidak kembali terjerumus ke perbuatan maksiat.” Dalam kaitan pelacuran: Apakah yang berbuat maksiat hanya PSK? Bagaimana dengan laki-laki ’hidung belang’?
Pandangan ’miring’ ini terjadi karena yang dipakai adalah sudut pandang dengan kaca mata moral dalam melihat Dolly. Juga terjadi bias gender karena yang ’ditembak’ hanya perempuan (baca: PSK). Padahal, zina di pelacuran hanya bisa terjadi jika ada perempuan (PSK) dan laki-laki (hidung belang).
Kita sering memakai kaca mata moral ketika melihat PSK dengan sudut pandang moralitas pribadi sehingga terjadi bias gender. Padahal, yang berperan dalam menyuburkan pelacuran adalah laki-laki. Yang mencari PSK adalah laki-laki. Yang menjadi mata rantai penyebaran HIV adalah laki-laki.
Apakah kita masih tetap akan menutup mata terhadap fakta itu? Ya, jika itu yang terjadi maka selama itu pula penyebaran HIV akan merajalela di negeri ini dan kita tinggal menunggu ledakan AIDS di masa yang akan datang. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H