Opini (3 Januari 2014) – Pemkot Surabaya, Jatim, dengan dukungan Pemprov Jatim, menutup lokalisasi pelacuran “Dolly” di Kota Surabaya sejak 31 Desember 2013. Semangat menutup pelacuran terus bergelora di semua kabupaten dan kota di Jatim.
Jika dilhat dari epidemi HIV/AIDS penutupan lokasi atau lokalisasi pelacuran merupakan salah satu faktor yang tidak mendukung penanggulangan HIV/AIDS karena program pencegahan HIV tidak bisa lagi menjangakau laki-laki ‘hidung belang’.
Soalnya, praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat, seperti di rumah, kos-kosan, penginapan, losmen, hotel melati, hotel berbintang dan apartemen serta sembarang waktu.
Pengalaman beberapa negara, seperti Thailand, dalam menanggulangi penyebaran HIV/AIDS adalah dengan program ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK).
Terlepas dari “Dolly” yang luput dari perhatian pemerintah provinsi, kabupaten dan kota di Jatim adalah penyebaran HIV/AIDS yang dilakukan oleh
Program tsb. hanya bisa efektif dijalankan kalau pelacuran dilokalisir dengan regulasi hukum, misalnya, pemberian izin kepada germo atau mucikari. Dengan cara ini hukum bisa menjerat pelaku yang melawan hukum yaitu program ‘wajib kondom 100 persen’.
Kalau Pemprov Jatim serta pemerintah kota dan kabupaten se-Jatim menganggap bahwa penutupan lokasi pelacuran merupakan langkah yang konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS, maka yang terjadi justru sebaliknya.
Bahkan, tanpa harus mengait-ngaitkan dengan pelacuran pun penyebaran HIV/AIDS di Jatim akan terus terjadi karena dalam laporan kasus kumulatif HIV/AIDS yang dikeluarkan Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, tertanggal 31 Oktober 2013 kasus kumulatif HIV/AIDS di Prov Jatim per 30 September 2013 adalah22.987 yang terdiri atas 15.273 HIV dan 7.714 AIDS.
Jika dibuat peringat berdasarkan kasus AIDS (7.714), maka peringkat Jatim secara nasional ada pada posisi ke-2. Ternyata berdasarkan jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS yang mencapai 22.987, posisi Jatim tetap pada peringkat ke-2.
Telepas dari polemik penutupan “Dolly” satu hal yang luput dari perhatian pemerintah provinsi, kabupaten dan kota se-Jatim adalah penyebaran HIV akan akan terjadi melalui 15.273 penduduk yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS (jumlah ini dikurangi dengan jumlah kasus HIV/AIDS pada anak-anak dan bayi).
Yang dikhawatirkan pemerintah provinsi, kabupaten dan kota se-Jatim akan menepuk dada: pelacuran sudah enyah dari daerah kami!
Pemerintah provinsi, kabupaten dan kota se-Jatim benar di satu sisi yaitu tidak ada lagi pelacuran yang kasat mata.
Tapi, di sisi lain pemerintah provinsi, kabupaten dan kota se-Jatim mengabaikan penyebaran HIV/AIDS melalui praktek pelacuran yang tidak kasat mata, yang melibatkan pekerja seks komersial (PSK) tidak langsung, yaitu cewek panggilan, cewek gratifikasi seks, cewek pemijat, cewek karaoke, cewek pub, cewek kafe, cewek disko, anak sekolah, mahasisi, ibu-ibu rumah tangga, dll.).
Tentu saja praktek pelacuran yang melibatkan PSK tidak langsung tidak akan bisa diawasi oleh Satpol PP karena kegiatan itu tidak kasat mata. Selain itu nyali Satpol PP tidak akan sanggup merazia hotel berbintan dan apartemen mewah.
Selain penyebaran HIV/AIDS melalui praktek pelacuran, hal yang luput dari perhatian pemerintah provinsi, kabupaten dan kota se-Jatim adalah penyebaran HIV yang dilakukan oleh penduduk yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS yaitu 15.273 (dikurangi bayi dan anak-anak). Penularan HIV/AIDS al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, tanpa mereka sadari sebelum tes HIV.
Pertanyaannya kemudian adalah: Apakah pemerintah provinsi, kabupaten dan kota se-Jatim bisa mengawasi 15.273 penduduk yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS ini agar mereka tidak menularkan HIV kepada orang lain?
Tentu saja tidak bisa!
Karena Jatim sudah “bersih” dari lokasi atau lokalisasi pelacuran, maka yang mendorong penyebaran HIV/AIDS di Jatim adalah sebagian laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti di wilayah Jatim dan di luar wilayah Jatim.
Lagi-lagi pemerintah provinsi, kabupaten dan kota se-Jatim tidak akan bisa mengawasi laki-laki dewasa di atas karena terjadi dengan berbagai cara dan tidak kasat mata pula.
Pemerintah provinsi, kabupaten dan kota se-Jatim menjamin tidak ada pelacuran terbuka di Jatim, tapi: Apakah pemerintah provinsi, kabupaten dan kota se-Jatim bisa mengawasi sebagian laki-laki dewasa penduduk Jatim yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung di di luar wilayah Jatim?
Lagi-lagi tentu saja tidak bisa!
Maka, laki-laki dewasa penduduk Jatim yang tertular HIV di luar Jatim akan menyebarkan HIV/AIDS di Jatim, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Peraturan daerah (Perda) penanggulangan HIV/AIDS di Jatim sudah banyak, tapi perda-perda itu sama sekali tidak memberikan langkah konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS, seperti Perda AIDS Prov Jatim (Lihat: Menyibak Kiprah Perda AIDS Jatim - http://www.aidsindonesia.com/2012/09/menyibak-kiprah-perda-aids-jatim.html).
Jika pemerintah provinsi, kabupaten dan kota se-Jatim tetap teguh pada pendirian bahwa tidak ada pelacuran terbuka sehingga tidak ada lagi penyebaran HIV/AIDS, maka pemerintah provinsi, kabupaten dan kota se-Jatim kelak akan panen AIDS karena kasus-kasus yang terjadi akan menjadi ‘bom waktu’ untuk ledakan AIDS.***[Syaiful W. Harahap]***
- AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap
[Sumber: http://www.aidsindonesia.com/2014/01/dolly-ditutup-penyebaran-hiv-di-jatim.html]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H