Dikabarkan ada dua pengidap HIV/AIDS di Kab Pidie, Aceh, yang meningalkan tempat tinggalnya (Dua Penderita HIV/AIDS Kabur dari Rumah, www.mediaindonesia.com, 4/4-2012).
Kasus kumulatif HIV/AIDS di Kab Pidie berjumlah sembilan. Tiga di antaranya meninggal, empat dalam penanganan medis dan dua kabur. Jumlah itu merupakan bagian dari 108 kasus kumulatif HIV/AIDS di Aceh.
Disebutkan: “Dinas Kesehatan kabupaten setempat tidak mengetahui di mana keberadaan kedua penderita penyakit menakutkan itu.”
Wartawan yang menulis berita ini sudah memakai moralitas dirinya sendiri dalam menilai HIV/AIDS dengan menyebutkan ‘penyakit menakutkan’. Ini merupakan cara penyebutan yang buruk terhadap HIV/AIDS. Yang menakutkan justru berita yang tidak akurat sehingga menyesatkan masyarakat.
Di bagian lain disebutkan: “Ada dugaan mereka kabur karena merasa malu.”
Bertolak dari pernyataan itu tentulah ada yang membocorkan identitas kedua pengidap HIV/AIDS tsb. sehingga diketahui oleh masyarakat. Kalau tidak ada yang mengetahui status HIV mereka di tempat tinggalnya tentulah mereka tidak akan merasa malu.
Disebutkan pula: “ …. sejak sekitar setahun lalu kedua penderita itu telah didata petugas kesehatan dan dalam pengawasan, pengobatan, dan pantauan secara medis.”
Pernyataan di atas berlebihan karena tidak semua orang yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS otomatis harus dipantau dan diawasi serta menerima pengobatan. Jika orang-orang yang terdeteksiHIV/AIDS itu belum masuk masa AIDS, ditandai dengan penyakit-penyakit infeksi oportunistik, seperti diare, ruam, jamur, TBC, dll. , maka mereka tidak memerlukan pengobatan.
Yang diperlukan oleh orang-orang yang sudah terdeteksi mengidap HIV adalah melakukan tes dengan darah untuk mengetahui CD4 mereka. WHO menganjurkan kalau CD4 sudah di bawah 350 maka mereka harus meminum obat antiretroviral (ARV). Obat ini untuk menekan laju penggandaan HIV di dalam darah. Obat ini gratis.
Menurut Kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Pidie, drg Rizal Faisal, pihaknya terus mencari keberadaan dua penderita itu untuk terus ditangani secara medis.
Kalua dua pengidap HIV/AIDS yang ‘kabur’ itu dulu menjalani tes HIV dengan standar prosedur operasi tes HIV yang baku, maka mereka tidak mungkin kabur karena mereka menerima konseling serta dukungan. Selain itu masyarakat di lingkungan mereka pun menerima penyuluhan sehingga tidak menimbulkan kepanikan di masyarakat.
Maka, bertolak dari fakta itu ada kemungkinan besar dua pengidap HIV/AIDS yang kabut itu tidak menjalani tes HIV dengan konseling sebelum dan sesudah tes.
Masih menurut Rizal: "Kedua penderita itu tidak berobat lagi karena menghilang. Tapi kita terus mencari mereka agar selalu ada penanganan medis."
Sayang, dalam berita tidak ada penjelasan mengapa mereka berobat karena tidak semua pengidap HIV/AIDS otomatis akan berobat. Inilah salah satu kelemahan pemberitaan tentang HIV/AIDS di Indonesia yaitu informasi yang tidak komprehensif (Syaiful W. Harahap, Pers Meliput AIDS, Pustaka Sinar Harapan/Ford Foundation, Jakarta, 2000).
Ketua Komisi Penggulangan HIV/ADS Provinsi Aceh, Muhammad Nazar, mengatakan hanya di Subulssalam dan Nagan Raya yang belum terdeteksi penderita HIV/AIDS.
Lagi-lagi wartawan tidak memberikan penjelasan tentang kondisi dua kabupaten itu. Tidak ada penjelasan tentang: (a) Apakah di dua daerah itu pernah dilakukan survailans tes HIV? (b) Kalau pernah maka kapan survailans tes HIV terakhir dilakukan? (c) Apakah semua penduduk di dua kabupaten itu sudah menjalani tes HIV?
Jawaban dari tiga pertanyaan di atas akan memberikan gambaran yang ril tentang epidemi HIV/AIDS di dua daerah itu.
Di bagian lain disebutkan: “Kabupaten Aceh Tamiang dan Aceh Tenggara termasuk kawasan paling banyak penderita yakni bekisar 10-16 orang.” Dalam berita tidak ada pula penjelasan tentang mengapa di dua daerah itu banyak kasus terdeteksi.
Yang jadi persoalan besar bagi Kab Pidie khususnya dan Aceh umumnya adalah penduduk, terutama laki-laki dewasa, yang sudah tertular HIV tapi tidak menyadarinya. Ini terjadi karena tidak ada gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik mereka.
Laki-laki dewasa yang sudah mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Maka, yang perlu dilakukan Pemkab Pidie dan Pemprov Aceh adalah membuat mekanisme yang sistematis dan konsisten melalui regulasi untuk mendeteksi HIV/AIDS di masyarakat.
Kasus HIV/AIDS tidak banyak terdeteksi di Aceh karena tidak ada survailans tes HIV yang konsisten, klinik VCT (tes HIV sukarela dengan konseling gratis) pun tidak terdapat di semua daerah, LSM yang melakukan penjangakuan pun bisa dihitung dengan jari, dll. (Lihat: http://media.kompasiana.com/mainstream-media/2011/05/12/menyikapi-frekuensi-berita-aids-yang-rendah-di-aceh/).
Jika tidak ada langkah yang konkret dalam menanggulangi HIV/AIDS di Aceh, maka selama itu pula penyebaran HIV akan terus terjadi di Aceh. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H