“70 Balita Idap HIV/AIDS.” Ini judul berita di news.okezone.com (10/1-2015) tentang kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada balita di Prov Sulawesi Utara sampiai Oktober 2014. Jumlah kasus pada balita ini merupakan bagian dari jumlah kasus kumulati HIV/AIDS di Sulut sampai Oktober 2014 yang mencapai 1.651
Judul berita ini menunjukkan ada 70 suami (laki-laki dewasa) yang mengidap HIV/AIDS, jika suami-suami itu beristri satu, selanjutnya 70 suami itu menularkan HIV/AIDS kepada 70 perempuan (istri mereka).
Kemungkinan besar 70 suami itu tertular melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK yang kasat mata di lokasi pelacuran dan di jalanan), atau PSK tidak langsung (PSK yang tidak kasat mata yaitu cewek panggilan, ABG, ayam kampus, cewek kafe, cewek pub, cewek pemijat, cewek gratifikasi seks, dll.). Bisa juga ada di antara 70 suami itu yang tertular HIV/AIDS melalui seks anal dengan waria.
Sayang, dalam berita tsb. sama sekali tidak digambarkan penyebaran HIV/AIDS berdasarkan fakta 70 balita. Bahkan, berita tsb. terkesan menyalahkan perempuan (ibu balita yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS).
Disebutkan: “Penularannya bisa melalui air susu ibu yang diberikan kepada bayinya," kata Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Sulut dr M Tangel-Kairupan di Manado.
Dalam kaitan air susu ibu (ASI) ibu balita-balita itu tidak menyadari mereka sudah tertular HIV/AIDS dari suaminya.
Disebutkan lagi bahwa penularan dari ibu yang positif HIV ke anak memerlukan penanganan khusus pada masa kehamilan hingga melahirkan.
Persoalannya adalah: Apakah Pemprov Sulut mempunyai program yang konkret dan sistematis untuk mendeteksi HIV/AIDS pada ibu hamil?
Tidak ada!
Bahkan, dalam Perda AIDS Sulawesi Utara sama sekali tidak ada program pencegahan HIV/AIDS dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya secara konkret. Perda ini pun sudah dilengkapi dengan peraturan gubernur, tapi tetap saja tidak ada program penanggulangan yang realistis.
Maka, kasus HIV/AIDS pada bayi dan balita akan terus terdeteksi di Sulut karena tidak ada program yang konkret dan sistematis untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil. Kalau hanya dengan anjuran dan itu pun hanya terhadap perempuan hamil yang berobat atau memeriksakan kandungan ke fasilitas kesehatan pemerintah tentulah tidak akan bisa mendeteksi banyak kasus.
Untuk itulah diperlukan intervensi berupa program dengan regulasi agar kasus insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa bisa diturunkan. Langkah ini hanya bisa dilakukan jika pelacuran dilokalisir dengan regulasi yaitu memaksa setiap laki-laki memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK.
Celakanya, di Sulut, sama halnya dengan semua daerah di Nusantara, praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu sehingga tidak bisa dilakukan intervensi. Begitu juga dengan PSK tidak langsung dan waria tidak bisa dilakukan intervensi sehingga risiko laki-laki dewasa tertular HIV/AIDS melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK tidak langsung dan waria akan terus terjadi.
Kalau saja wartawan yang menulis berita ini lebih arif menjalankan jurnalistik, maka pertanyaan yang diajukan ke pihak terakait adalah: Apakah ibu dan ayah 70 balita itu sudah menjalani tes HIV?
Jika jawabannya TIDAK, maka ada persoalan besar di Sulut terkait dengan penyebaran HIV/AIDS yaitu 70 suami itu menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS secara horizontal di masyarakat, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Jumlah kasus yang dilaporkan (1.651) tidak menggambarkan kasus HIV/AIDS yang sebenarnya di masyarakat karena penyebaran HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang dilaporkan (1.651) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.
Itu artinya kasus HIV/AIDS di Sulut bisa saja jauh lebih besar dari 1.651. Ini terjadi al. karena tidak ada program pendeteksian kasus HIV/AIDS yang sistematis. Kasus HIV/AIDS umumnya terdeteksi di rumah sakait ketika pengidap HIV/AIDS menderita penyakit. Sebagian lagi melalui tes sukarela yang didorong oleh penjangkauan dari berbagai kalangan, seperti LSM.
Tanpa program penangulangan yang konkret dan sistematis penyebaran HIV/AIDS di Sulut tidak akan terbendung yang kelak akan bermuara pada “ledakan AIDS”. *** [Syaiful W. Harahap – AIDS Watch Indonesia] ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H