[caption id="attachment_188063" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)"][/caption]
* Penyebaran HIV/AIDS melalui laki-laki ‘hidung belang’ mendorong ‘ledakan AIDS’ di Sulut
"Akhir-akhir ini penjangkau dari LSM harus berkali-kali berhubungan dengan aparat keamanan karena penjangkau lapangan (PL) maupun dampingannya ketahuan membawa kondom ..." Inilah keluhan rekan-rekan aktivis yang bergerak dalam penjangkuan pekerja seks komersial (PSK), waria dan laki-laki ‘hidung belang’ di Manado, Sulawesi Utara (Sulut).
Upaya untuk menjangkau orang-orang yang terkait dengan risiko tertular dan menularkan IMS (infeksi menular seksual, seperti GO, sifilis, virus hepatitis B, dll.) serta HIV/AIDS untuk memberikan penyuluhan dan kondom sebagai alat untuk mencegah penularan IMS dan HIV atau dua-duanya sekaligus merupakan bagian yang integral dari penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.
Celakanya, banyak kalangan yang tidak memahami penanggulangan HIV/AIDS di tataran masyarakat, terutama pada orang-orang yang perilakunya berisiko tertular dan menularkan HIV.
Di Manado, Sulut, misalnya, penjangkau yang merupakan aktivis di lembaga swadaya masyarakat (LSM) sering harus berurusan dengan aparat keamanan ketika mereka tertangkap sewaktu mendampingi PSK atau waria.
Pendampingan di sini adalah salah satu langkah konkret meningkatkan posisi tawar kelompok dampingan (PSK dan waria) untuk ’memaksa’ laki-laki ’hidung belang’ memakai kondom jika mereka melakukan transaksi seks.
Selama ini yang dilakukan hanyalah penyuluhan di lapangan, tapi ketika kelompok dampingan mau menerapkan langkah pencegahan mereka tidak mempunyai kondom. Itulah sebabnya PL selalu membawa kondom agar pendampingan berjalan efektif.
Tidak ada UU yang melarang pemakaian kondom di Indonesia. Kondom pun bukan barang yang dilarang diperjualbelikan.
Kalau pun aparat keamanan di Manado mengacu pasal 28 UU RI No 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, yang menyebutkan: ”Penyampaian informasi dan/atau peragaan alat, obat, dan cara kontrasepsi hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan dan tenaga lain yang terlatih serta dilaksanakan di tempat dan dengan cara yang layak.” juga tidak pas karena PL menjalankan program penanggulangan HIV/AIDS.
Biar pun PL sudah melakukan pendekatan melalui penjangkuan yang rutin, ternyata banyak laki-laki ’hidung belang’ yang justru tidak mau memakai kondom ketika sanggama dengan kelompok dampingan.
Maka, amatlah wajar kalau kemudian penyebaran HIV/AIDS terus terjadi di Manado khususnya dan Sulut umumnya. Dikabarkan kasus HIV/AIDS di Sulut sampai Januari 2012 sudah terdeteksi 979. Dari jumlah ini terdapat 49 balita.
Bayi-bayi itu dilahirkan oleh ibu yang mengidap HIV. Ibu-ibu itu tertular HIV dari suaminya. Ini membuktikan suami mereka melakukan hubungan seksual dengan kelompok damingan tanpa kondom.
Perlu diingat jumlah kasus yang terdeteksi tidak menggambarkan kasus ril di masyarakat karena epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Artinya, kasus yang terdeteksi (979) adalah bagian kecil, digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, dari kasus yang ada di masyarakat, digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat Gambar).
Maka, kalau dikaitkan dengan upaya konkret penanggulangan HIV/AIDS di Sulut aparat keamanan justru diharapkan mendukung kelompok dampingan.
Maka, posisi tawar yang rendah pada kelompok dampingan dan ancaman terhadap PL menjadi pemicu penyebaran HIV/AIDS di Manado khususnya dan di Sulut ummnya.
Jika Pemprov Sulut, dalam hal ini Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi (KPAP) Sulut, tetap mengabaikan kerja keras PL dan tidak mendukung upaya-upaya pendampingan, maka selama itu pula penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi di Sulut.
Celakanya, KPAP Sulut menepuk dada dengan mengklaim program mereka behasil dengan bukti penemuan kasus HIV/AIDS yang banyak. Padahal, hal itu adalah penanggulangan di hilir. Artinya, KPAP Sulut membiarkan penduduk tertular HIV dahlu (di hilir) baru ditangani (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2012/05/06/penanggulangan-aids-di-sulawesi-utara-menunggu-perubahan-perilaku-seksual/).
Nah, kerja keras rekan-rekan PL adalah upaya penanggulangan di hulu yaitu menuruntkan insiden infeksi HIV baru terutama pada laki-laki ’hidung belang’. Jika insiden infeksi HIV baru terus terjadi maka KPAP Sulut pun mendapatkan kasus HIV/AIDS yang makin banyak.
Perda AIDS Sulut pun sama sekali tidak menjadikan pemakaian kondom pada transaksi seks berisiko sebagai bagian yang integral dalam penanggulangan HIV/AIDS (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/04/24/menguji-peran-perda-hivaids-prov-sulawesi-utara/).
Ya, Pemprov Sulut tinggal menunggu waktu saja untuk ’panen AIDS’. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H