Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Di Lokalisasi ‘Turki’ di Kab Jayapura, Papua, 56 PSK Mengidap IMS

8 Agustus 2011   23:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:58 656
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penyebaran infeksi menular seksual (IMS, seperti sifilis, GO, virus hepatitis B, klamidia, dll.) di lokalisasi pelacuran Tanjung Elmo, Kab Jayapura, Prov Papua (lebih dikenal sebagai ‘turki’ atau turunan kiri atau turun ke kiri jalan yang terletak di sebelah kiri jalan raya dari Jayapura ke Sentani) dikabarkan selama Juli 2011 57 pekerja seks komersial (PSK) terdeteksi mengidap IMS (Di Tanjung Elmo, 57 PSK Terkena IMS, Harian ”Cenderawasih Pos”, 8/8-2011).

[caption id="attachment_123617" align="aligncenter" width="300" caption="Gerbang ke Lokalisasi Pelacuran Tanjung Elmo, Kab Jayapura, Papua"][/caption] Ada tiga hal yang langsung terkait dengan kasus di lokalisasi pelacuran yang terletak di tepi Danau Sentani itu, yaitu:

Pertama, ada kemungkinan IMS ditularkan oleh laki-laki ‘hidung belang’ pelanggan PSK yang bisa saja penduduk lokal, asli atau pendatang. Kalau ini yang terjadi, maka di masyarakat ada laki-laki yang mengidap IMS. Mereka ini bisa saja sebagai suami, pacar, selingkuhan, lajang, duda atau remaja. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran IMS di masyarakat melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Kasus IMS pada ibu-ibu rumah tangga membuktikan bahwa ada laki-laki yang mengidap IMS.

Kedua, kemungkinan lain PSK itu sudah mengidap IMS ketika mulai ‘praktek’ di ‘turki’ sebagai ‘pendatang baru’. Kalau ini yang terjadi, maka laki-laki ‘hidung belang’ penduduk lokal, asli atau pendatang, akan berisiko tertular IMS jika sanggama dengan PSK tanpa kondom. Laki-laki yang tertular IMS dari PSK pun akan menjadi mata rantai penyebaran HIV pula di masyarakat.

Ketiga, karena infeksi akibat IMS merupakan ‘pintu masuk’ bagi HIV, maka ada kemungkinan PSK tsb. juga mengidap HIV tapi tidak terdeteksi. Maka, ada kemungkinan laki-laki yang menularkan IMS kepada PSK sekaligus juga menularkan HIV. Laki-laki yang tertular IMS dari PSK juga bisa tertular HIV sekaligus.

Tiga hal di atas sering luput dari perhatian sehingga yang menjadi ‘sasaran tembak’ hanya PSK. Selain pada PSK ternyata IMS juga terdeteksi pada seorang laki-laki di lokalisasi itu.

Dikabarkan Pemkab Jayapura sudah memiliki peraturan daerah atau Perda No 20 Tahun 2003 tentang Penanggulangan HIV-AIDS dan IMS, al. mengatur kewajiban penggunaan kondom di Tanjung Elmo. Tapi, fakta tentang 57 PSK yang terdeteksi mengidap IMS itu menunjukkan penggunaan kondom tidak ditaati oleh laki-laki ‘hidung belang’.

Tentu saja perda itu tidak ‘jalan’ karena kewajiban memakai kondom tidak diwujudkan secara konkret. Mekanisme untuk memaksa laki-laki ’hidung belang’ memakai kondom tidak konret. Pasal tentang kewajiban kondom itu merupakan ’turunan’ dari program ’wajib kondom 100 persen’ pada laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK di lokalisasi pelacuran atau rumah bordir.

Thailand berhasil menerapkan program itu karena yang diberikan sanksi jika ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS adalah germo atau mucikari. Ini langkah yang tepat karena posisi tawar PSK sangat lemah. Laki-laki yang ditolak oleh PSK karena tidak memakai kondom akan memakai ’tangan’ germo untuk memaksa PSK meladeninya tanpa kondom.

Jika setiap malam seorang PSK meladeni 3 laki-laki, maka setiap malam ada 171 laki-laki lokal, asli atau pendatang,yang berisiko tertular IMS atau HIV atau dua-duanya sekaligus. Laki-laki yang tertular inilah kemudian yang menjadi mata rantai penyebaran IMS dan HIV di masyarakat. Celakanya, tidak ada mekanisme yang sistematis untuk mendeteksi penduduk yang IMS dan HIV.

Menurut Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jayapura, Dr. Reginald Hutabarat, M.Kes, dari 56 PSK yang terdeteksi mengidap IMS itu 8 diantaranya dirujuk untuk melakukan tes HIV di klinik VCT. Sayang, dalam berita tidak dijelaskan mengapa hanya 8 PSK yang dirujuk ke klinik VCT.

Reginald menganjurkan agar PSK di Tanjung Elmo setiap kali melakukan hubungan seks harus  mengunakan kondom untuk mencegah penularan IMS.

Pertanyaan adalah: Apakah di Tanjung Elmo sudah tersedia kondom perempuan?

Yang diwajibkan memakai kondom adalah laki-laki ’hidung belang’ bukan PSK. Dalam kaitan ini PSK wajib menolak laki-laki ’hidung belang’ yang tidak mau memakai kondom. Ini hanya dapat berjalan jika sanksi keras diberikan kepada germo bukan PSK.

Pengalaman PSK di ’Sarkem’ (lokasi pelacuran di Pasar Kembang, Yogyakarta) menujukkan sering terjadi cek-cok antara PSK dan pelanggan karena mereka menolak memakai kondon setelah ada di kamar. Padahal, sebelum masuk kamar sudah ada perjanjian pelanggan akan memakai kondom (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/06/11/duka-derita-psk-di-%E2%80%98sarkem%E2%80%99-yogyakarta/).

Nah, kalau Perda AIDS Kab Jayapura itu bisa berjalan efektif di Tanjung Elmo, maka harus ada peraturan bupati tentang mekanisme untuk ’memaksa’ pelanggan agar memakai kondom dan sanksi keras bagi gerno.

Jika tidak ada mekanisme yang konkret, maka pelanggan PSK di Tanjung Elmo akan tetap menolak memakai kondom. Akibatnya, penyebaran IMS dan HIV atau dua-duanya sekaligus akan menjadi masalah besar bagi penduduk Kab Jayapura khususnya dan Prov Papua umumnya. ***[Syaiful W. Harahap]***

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun