Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Di Kota Yogyakarta Pencegahan HIV Dibebankan kepada Perempuan (Istri)

20 April 2012   01:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:24 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

“Kaum perempuan di wilayah Kota Yogyakarta atau di Provinsi DIY dalam tiga tahun terakhir semakin rentan terkena HIV/AIDS.” Ini lead berita “Perempuan Semakin Rentan HIV/AIDS” (antara, 19/4-2012).

Pernyataan pada lead berita itu bertolak dari keterangan Ketua Panitia Peringatan Hari Kartini Kota Yogyakarta Tri Kirana Muslidatun di seminar "Ketahanan Keluarga Kita Cegah Bahaya Narkoba, HIV/AIDS dan Penyakit Menular Seksual Lainnya" di Yogyakarta (19/4-2012), yang mengatakan: "Laju penderita HIV/AIDS di Provinsi DIY cukup tinggi, dan dalam tiga tahun terakhir terjadi kecenderungan baru, yaitu semakin banyak perempuan dan anak yang menderita penyakit tersebut."

Tri Kirana yang juga Ketua Tim Penggerak PKK Kota Yogyakarta menyebutkan alasannya yaitu: “ …. banyak kaum perempuan yang menjadi ibu rumah tangga menderita penyakit tersebut karena tertular dari suaminya.”

Itu fakta. Tapi, mengapa bukan fakta itu yang dibawa ke ranah realitas sosial?

Artinya, mengapa yang dibicarakan justru kaum perempuan yang dalam penularan HIV sebagai korban dengan posisi tawar yang sangat rendah.

Maka, amatlah gegabah kalau kemudian pencegahan HIV di rumah tangga dibebankan kepada perempuan.

Bagaimana cara seorang istri menanggulangi penyebaran HIV di dalam keluarga?

Ini menurut Tri Kirana: “ .... semakin banyaknya perempuan dan anak-anak yang menderita HIV/AIDS tersebut salah satunya disebabkan adanya keterbatasan informasi dari perempuan tentang penyebaran penyakit tersebut.”

Yang membawa HIV ke rumah adalah suami. Nah, yang perlu memahami cara-cara penularan dan pencegahan HIV adalah suami.

Sayang, dalam Perda AIDS DI Yogyakarta tidak ada pasal yang konkret berupa intervensi terhadap suami agar memakai kondom jika melakukan hubungan seksual dengan perempuan atau laki-laki yang berganti-ganti serta dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan yaitu pekerja seks dan waria (Lihat: http://sosbud.kompasiana.com/2011/01/15/perda-aids-yogyakarta-mengabaikan-praktek-pelacuran-di-%E2%80%98sarkem%E2%80%99/).

Begitu pula dengan pendeteksian HIV/AIDS pada perempuan hamil tidak ada mekanisme yang konkret dalam perda itu.

Disebutkan kasus kumulatif HIV/AIDS di DIY selama 12 tahun terakhir tercatat 1.508 yang terdiri atas 343HIV dan 586 AIDS. Dari jumlah itu 475 kasus terdeteksi pada perempuan atau 31,5 persen.

Bertolak dari data itu, menurut Tri Kirana, perlu dilakukan tindakan pencegahan yang harus dimulai dari rumah tangga, khususnya dari kaum perempuan itu sendiri.

Padahal, fakta menunjukkan yang potensial menularkan HIV kepada perempuan adalah suami dalam ikatan pernikahan (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2012/03/01/kian-banyak-suami-di-di-yogyakarta-yang-menularkan-hiv-kepada-istrinya/).

Pertanyaannya: Bagaimana cara kaum perempuan dengan posisi sebagai istri melakukan tindakan pencegahan HIV?

Dengan pemahaman gender yang sangat rendah dan pemahaman posisi perempuan dari sudut pandang agama yang juga tidak objetif, maka tidak masuk akal (sehat) kalau kemudian perempuan meminta suami memakai kondom jika ’jajan’ di luar atau ketika sanggama dengan istri.

Kalau saja dalam perda itu ada pasal berupa intervensi yaitu regulasi berupa keharusan memakai kondom terhadap laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks atau waria tentulah satu mata rantai penyebaran HIV bisa diputus.

Tapi, lagi-lagi yang jadi objek hanya perempuan. Bahkan, menurut Tri Kirana laju penyebaran HIV/AIDS di DIY justru menjadi peringatan bagi kaum perempuan dan ibu untuk semakin peka terhadap kondisi di keluarga, sehingga bisa mencegah penularan virus tersebut di lingkungannya.”

Pernyataan Tri Kirana itu terbalik. Justru fakta itu menjadi peringatan bagi kaum laki-laki terutama suami ‘hidung belang’. Lihat saja di ‘Sarkem’ yaitu lokasi pelacuran di bilangan Jalan Pasar Kembang di selatan Staisun KA Tugu. Pekerja seks di sana mengaku laki-laki enggan memakai kondom (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/06/11/duka-derita-psk-di-%E2%80%98sarkem%E2%80%99-yogyakarta/).

Kaum perempuan sendiri yang menohok perempuan dan membuat laki-laki di atas angin. Persoalannya adalah: cara pandang yang ngawur itu justru menghambat penanggulangan HIV/AIDS. ***[Syaiful W. Harahap]***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun