“Penyebaran HIV/AIDS di Bali. Dari PSK, Kini Ancam Ibu Rumah Tangga.” Ini judul berita di Harian “Bali Post” (8/2-2012).
Judul berita ini menempatkan pekerja seks komersial (PSK) sebagai ‘biang keladi’ penyebaran HIV di Bali. Padahal, ada fakta yang luput dari perhatian terkait dengan HIV/AIDS pada PSK, yaitu: (a) ada kemungkinan HIV/AIDS pada PSK ditularkan oleh laki-laki lokal, (b) PSK sudah mengidap HIV ketika tiba di Bali.
Tampaknya, di Indonesia fakta (a) sengaja diabaikan agar PSK jadi ‘sasaran tembak’ dan dijadikan ‘kambing hitam’ penyebaran HIV/AIDS. Padahal, (a) dan (b) sama saja risiko.
Pada kondisi (a) laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dalam kehidupan sehari-hari bisa saja sebagai suami, maka tidak mengherankan kalau kemudian terdeteksiHIV/AIDS pada ibu rumah tangga. Lalu, ada pula laki-laki yang tertular HIV dari PSK. Laki-laki ini pun bisa saja sebagai seorang suami.
Kondisi (b) pun sama saja. Artinya, laki-laki yang sanggama dengan PSK tanpa kondom berisiko tertular HIV. Laki-laki ini bisa juga sebagai seorang suami.
Maka, laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Selama ini banyak kalangan yang menentang sosialisasi kondom sebagai alat untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual dengan alasan kondom mendorong laki-laki berzina atau melacur. Kalau asumsi moral ini benar tentulah tidak akan ada suami yang menularkan HIV kepada istrinya karena mereka memakai kondom ketika sanggama dengan PSK.
Tapi, fakta menunjukkan banyak suami yang menularkan HIV kepada istrinya. Maka, asusmi itu pun gugur. Tapi, tetap saja banyak yang ngotot menolak kondom. Celakanya, mereka tidak bisa memberikan cara yang konkret untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan.
Tahun 2011 dilaporkan 1.284 pengunjung ke klinik VCT (tempat tes HIV dengan konseling gratis) di RS Sanglah, Denpasar. Dari jumlah ini yang terdeteksi mengidapHIV/AIDS 370 atau 28,8 persen. Sedangkan tahun 2010kunjungan ke klinik VCT RS Sanglah 1.373. Yang terdeteksi HIV 361 atau 26,3 persen. Tahun 2011 terdeteksi 25 anak-anak yang mengidap HIV/AIDS.
Kasus kumulatif HIV/AIDS di Prov Bali sudah dilaporkan 5.222. Kalangan ahli memperkirakan ada 7.000 kasus HIV/AIDS di Prov Bali.
Kasus HIV/AIDS yang terus terdeteksi membuat petinggi di sana gerah. Disebutkan: ”Jika tidak ditangani dengan tepat, penularan kasus HIV lewat hubungan heteroseksual bisa melonjak.” Bahkan, ada yang khwatir Pulau Bali akan jadi ’pulau AIDS’ (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2011/05/25/selamatkan-p-bali-agar-tidak-jadi-%E2%80%98pulau-aids%E2%80%99/).
Celakanya, tidak ada langkah atau cara yang konkret di Bali untuk mencegah penularan HIV, terutama pada laki-laki ’hidung belang’. Lihat saja Perda AIDS Prov Bali yang hanya normatif (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/11/30/menguji-perda-aids-bali/).
Dalam perda-perda AIDS yang ada di Bali pun tidak ada pasal tentang penanggulangan dan pencegahan yang konkret. (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2011/06/29/menyibak-perda-perda-penanggulangan-aids-di-bali/).
Di Indonesia dikesankan tidak ada pelacuran karena tidak ada lokalisasi pelacuran. Agaknya, Bali pun membangun citra sebagai ’daerah bebas pelacuran’ dengan bukti tidak ada lokalisasi pelacuran. Maka, dalam perda-perda AIDS tidak ada pasal tentang pemakaian kondom terkait dengan pencegahan HIV pada pelacuran.
Kasi Yanmed Rawat Jalan RS Sanglah, dr. Ida Ayu Miswarihati, mengatakan: "Penderita yang tidak sadar dirinya menderita HIV akan menularkannya pada yang lain. Lebih berbahaya jika penderita memiliki perilaku seks bebas dan suka berganti-ganti pasangan."
Pertanyaannya: Mengapa orang-orang yang sudah tertular HIV tidak menyadari dirinya sudah mengidap HIV?
Dari aspek medis banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisiknya sebelum masa AIDS yaitu (secara statistik) antara 5 – 15 tahun setelah tertular HIV.
Sedangkan dari sisi lain banyak yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena informasi HIV/AIDS yang disebarluaskan selama ini tidak akurat. Informasi dibalut dengan moral sehingga fakta (medis) tentangHIV/AIDS hilang. Yang ditangkap masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah).
Misalnya, disebutkan bahwa penularan HIV/AIDS terjadi karena ’pergaulan bebas’, ’seks bebas’, melacur dengan PSK, seks pranikah, seks anal, seks dengan waria, dll. Banyak yang merasa tidak melakukan hal itu karena mereka tidak melacur dengan PSK.
Di Jambi, misalnya, ada yang terdeteksi HIV/AIDS marah-marah. Dia tidak terima hasil tes karena menurut pengakuannya dia tidak ganti-ganti pasangan ketika sanggama dengan PSK. Dia mempunyai PSK sebagai pasangan tetap. Ini sangat beralasan karena informasi yang disebarluaskan hanya menyebut risiko tertular HIV jika melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang berganti-ganti. Informasi ini tidak akurat karena tidak menyebut risiko juga ada jika hubungan seksual dilakukan dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK.
Jumlah PSK di Bali diperkirakan 8.000 yang terdiri atas 2.000 PSK langsung dan 6.000 PSK tidak langsung dengan pelanggan 80.000.
Kepala Dinas Kesehatan Prov Bali, dr Nyoman Sutedja, mengatakan: Untuk bisa menekan angka penularan HIV/AIDS lewat hubungan heteroseksual telah dibentuk Tim Three Part Treat antara Dinkes, Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) dan PKBI. Dinkes bertugas memberikan pelayanan kesehatan bagi penderita HIV/AIDS. Sementara untuk penemuan kasus, pengayoman serta sosialisasi mengenai HIV/AIDS dilakukan oleh KPA dan PKBI.
Langkah tim ini jelas dilakukan di hilir. Dinkes mengobati penduduk yang sudah tertular. KPA dan PKBI ’mencari’ penduduk yang sudah mengidap HIV.
Program konkret yang diperlukan adalah menurunkan insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK langsung di lokasi pelacuran. Celakanya, Pemprov Bali ’meniadakan’ praktek pelacuran dalam Perda AIDS Prov Bali sehingga tidak ada program pencegahan di hulu.
Masalah besar yang dihadapi Bali adalah risiko penularan HIV melalui PSK tidak langsung (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2010/11/26/andil-psk-tidak-langsung-dalam-penyebaran-hiv-di-denpasar/).
Memang, disebutkan: Untuk menekan kasus HIV/AIDS lewat hubungan seksual, beberapa langkah diambil, seperti sosialisasi pemakaian kondom, sosialisasi mengenai HIV/AIDS langsung pada PSK dan anak sekolah.
Yang menjadi objek sosialisasi kondom adalah PSK. Padahal, posisi tawar PSK sangat rendah jika berhadap dengan laki-laki ’hidung belang’. Laki-laki memanfaatkan tangah germo untuk memaksa PSK meladeninya tanpa kondom. Itulah sebabnya mengapa Thailand memberikan sanksi kepada germo bukan PSK terkait dengan program ’wajib kondom 100 persen’.
Ini menurut Suteja: "Kasus HIV/AIDS tidak hanya merupakan tanggung jawab pemerintah tetapi tanggung jawab bersama. Keluarga menjadi kunci penting ketahanan iman agar tidak sampai melakukan tindakan-tindakan yang berpotensi terkena HIV/AIDS seperti seks bebas atau menggunakan narkoba."
Pertama, kesehatan masyarakat adalah tanggung jawab negara, dalam hal ini pemerintah. Persoalannya, pemerintah sendiri, dalam hal ini Pemprov Bali, tidak mempunyai program yang konkret dalam penanggulangan HIV/AIDS di ’Pulau Dewata’ itu.
Kedua, apa alat ukur ’ketahanan iman’?
Ketiga, siapa yang berwewenang mengukur ’ketahana iman’?
Keempat, bagaiman mengukur ’ketahanan iman’ yang bisa membentuk perilaku berisiko?
Kelima, apakah orang yang tidak mempunyak ’ketahanan iman’ otomatis melakukan perilaku berisiko?
Sudah saatnya kita membalik paradigma bukan lagi menyalahkan PSK, tapi mendidik masyarakat, dalam hal ini laki-laki dewasa, agar tidak melacur atau melacur dengan pakai kondom.
Suteja juga mengatakan: "Di sini juga diharapkan peran serta desa pakraman untuk bisa mengontrol perkembangan kafe remang-remang di desanya." Yang menjadi persoalan bukan kare remang-remang, tapi perilaku penduduk lokal. Di negara yang memakai agama sebagai UUD sehingga tidak ada hiburan malam, kafe, dll. tetap saja ada kasus HIV/AIDS karena penduduknya bisa saja melakukan perilaku berisiko di luar negaranya.
Jika praktek pelacuran di P. Bali tidak dilokalisir, maka program pencegahan dengan kondom tidak bisa dijalankan. Ini artinya insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi. Pada gilirannya penyebaran HIV/AIDS di masyarakat pun terus pula terjadi.
Apakah Pemprov Bali menunggu ’ledakan AIDS’ dulu baru menerapkan langkah-langkah yang konkret? Kita tunggu saja. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H