Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Desain Gedung Baru DPR: Bangunan Masif tanpa Aspek Budaya Indonesia

31 Maret 2011   11:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:15 1363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_99262" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi-Gd. Baru DPR RI/Admin (tribunnews.com)"][/caption] Gedung-gedung pencakar langit di Jakarta dan kota-kota besar di Indonesia sama sekali tidak berkesan sebagai landmark sebuah kota. Semua nyaris sama yaitu kotak masif (kokoh tapi kaku) yang menjulang menggapai langit. Untunglah di Jakarta ada bangunan yang memakai ciri khas bangunan tropis Indonesia yaitu Wisma Dharmala Sakti, sekarang bernama Intiland Tower, di sisi barat Jalan Jend Sudirman, Jakarta Pusat.

Rencana pembangunan gedung baru DPR sebagai ‘rumah’ bagi (wakil) rakyat ternyata sama sekali tidak mencerminkan dinamika kebudayaan nasional. Rancang bangun gedung itu pun masif dengan bentuk U terbalik. Bahkan, sangat mirip dengan gedung Parlemen Chili, Amerika Latin.

[caption id="attachment_98701" align="alignleft" width="334" caption="Gedung Parlemen Chili"]

13015443711777494968
13015443711777494968
[/caption]

Walhasil, gedung rancangan Soejoedi Wirjoatmodjo, Dpl Ing, dengan ciri khas atap topi baja di kompleks perkantoran parlemen itu pun tidak didukung oleh gedung-gedung di sekitarnya. Rancang bangun gedung baru DPR seakan di awang-awang karena tidak berpijak pada budaya nasional. Bangungan itu terkesan tercerabut dari aspek budaya nasional. Sama sekali tidak menampilkan elemen atau bagian yang khas bangunan nasional.

Maka, tidak mengherankan kalau Ir Johanes Gunawan, arsitek, bersama arsitek kenamaan Amerika Serikat, Paul Rudolph, berkeliling Indonesia ketika merancang Wisma Dharmala. “Kami menemukan salah satu ciri khas bangunan nasional yaitu teritis,” kata Gunawan kepada penulis dalam wawancara ketika wisma itu sedang dibangun pada pertengahan tahun 1980-an. Tritis adalah pelindung bagian bangunan atau rumah yang menukik ke bawah berfungsi sebagai atap. Menurut Gunawan, gedung yang mereka rancang itu tekor 20 persen luas bangunan jika dibandingkan dengan bangunan masif.

Bangunan yang mereka rancang pun kemudian sangat khas karena ada teritisnya. Hal lain yang dipelopori Gunawan adalah mendiakan pagar. “Di banyak kota besar di luar negeri dari satu gedung ke gedung lain kita tidak harus ke luar pagar dahulu,” katanya. Memang, di sepanjang Jalan MH Thamrin sampai Jalan Jend Sudirman semua gedung berpagar. Pagar diganti dengan tanaman hidup.

[caption id="attachment_98707" align="alignright" width="235" caption="Intiland, d/h. Wisma Dharmala Sakti"]

1301545016298700592
1301545016298700592
[/caption] Kuala Lumpur, Malaysia, mengandalkan Menara Kuala Lumpur, yang dirancang oleh arsitek Ir Achmad Moerdijat, lulusan ITB Bandung, yang tinggal di Malaysia. Ada pula menara kembar Petronas. Sedangkan di Jakarta hanya menara Intiland yang khas. Sayang, gedung ini dikelilingi oleh gedung-gedung masif. Di Singapura sendiri ada gedung pencakar langit juga dirancang Rudolph dengan bangunan yang khas tropis.

Kalau saja gedung baru DPR dirancang dengan berpijak pada arsitektur dengan unsur budaya nasional tentulah gedung itu bisa menjadi landmark Jakarta (baca: Indonesia). Tapi, sayang seribu kali sayang gedung baru itu kelak seperti kebaran gedung Parlemen Chili. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun