Satu demi satu penderitaan tenaga kerja Indonesia (TKI), khususnya tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri, terkuak. Ada yang diperkosa, dijadikan istri, disiksa, dll. Mereka membela diri sampai membunuh. Celaka, peradilan di sana tidak terbuka sehingga hukuman berakhir di mata pedang. hukum pancung.
Terkait dengan perlindungan TKI, khususnya TKW, di luar negeri ternyata langkah-langkah yang dilakukan pemerintah tetap tidak konkret untuk melindungi TKI, terutama di Malaysia dan kawasan Timur Tengah. Dikabarkan sudah 3 TKI yang menemui ajal di ujung hukum dan sekarang ada 23 lagi yang menunggu ajal. Dengan tujuh juga TKI tentu masalah akan tambah banyak jika tidak ada perlindungan yang konkret.
Yang muncul hanya wacana melalui talk show di televisi. Salah satu wacana yang muncul sejak lama adalah menyiapkan pengacara. Tapi, perlu diingat bahwa berapa pun petugas yang direkrut menjadi tim advokasi tetap saja tidak akan bisa mengatasi perlakuan majikan terhadap TKI karena mereka tidak berada 24 jam setiap hari rumah tempat TKI bekerja. Lagi pula, mana mungkin memantau jutaan TKI secara langsung.
Tim advokasi akan membawa kasus yang dialami TKI ke pengadilan. Apakah perlakuan terhadap TKW, yang dianggap sebagai ’budak’, seperti pemukulan, penyiksaan dan pemerkosaan, merupakan delik hukum pidana di Arab Saudi?
Lagi pula karena sistem hukum yang berlaku di sana berdasarkan kitab suci maka ada perlakuan-perlakuan terhadap ’budak’ yang tidak masuk ke ranah hukum positif.
Kita khawatir yang terjadi justru pemborosan uang negara untuk membayar tim advokasi dan pengacara setempat karena perkaranya tidak bisa dibawa ke pengadilan. Kalau pun dibawa ke pengadilan hukum yang berlaku adalah hukum berdasarkan agama.
Karena kasus yang banyak muncul adalah pemukulan, penyiksaan, pemerkosaan dan tidak dibayar maka perlu ditelusuri sistem hukum di sana: Apakah pemukulan, penyiksaan, pemerkosaan dan tidak membayar upah ‘terhadap perempuan yang menjadi budak’ merupakan pelanggaran hukum pidana? Nah, kalau hal itu tidak merupakan pelanggaran hukum pidana, maka manalah mungkin tim advokasi menggugatnya ke pengadilan setempat.
Lagi pula untuk apa lagi perkaranya dibawa ke pengadilan kalau TKW sudah diperkosa, dipukuli, mati, dll? Maka, sangat tidak masuk akal ketika ada usul yang menyebutkan majikan di sana diwajibkan mengizinkan TKI berkumpul sekali sebulan. Lho, sebelum berkumpul di kedutaan mereka sudah diperkosa, disiksa, mati, dll.
Mengapa kita tidak berkaca ke negara lain, seperti Filipina, Bangladesh, atau Pakistan. yang juga memasok tenaga kerja ke sana tetapi relatif tidak ada masalah? Yang diperlukan adalah perlindungan di negara tempat mereka bekerja bukan UU seperti yang ramai dibicarakan karena UU kita tidak bisa dipakai di negara lain.
Perlindungan terhadap TKI diperlukan agar mereka tidak diperkosa, tidak disiksa, dll. Bagaimana caranya? Ya, tentu saja dengan membuat employee agreement (surat perjanjian kerja yang berkekuatan hukum) antara TKI dengan majikan yang disaksikan oleh atase perburuhan KBRI di negara setempat.
Dalam perjanjian itu disebutkan hak dan kewajiban masing-masing dengan rinci, al. paspor dipegang oleh TKI, nama dan alamat majikan dicatat di KBRI, perpindahan majikan atau TKI juga wajib dilaporkan ke KBRI. Perjanjian ini tentu saja harus melibatkan negara yang bersangkutan sehingga diperlukan perjanjian bilateral.
Tanpa perjanjian tertulis dikhawatirkan TKI disamakan dengan ‘budak’ karena majikan di sana ‘membeli’ TKI dari agency. Bisa juga terjadi perjanjian kerja hanya antara agency di negara setempat dengan PJTKI sehingga TKI tetap jadi ‘budak belian’. Di Malaysia, misalnya, ada majikan yang ‘membeli’ TKI dari agency atau tekong, dengan ‘harga’ 2.600 ringgit dengan janji akan digaji 600 ringgit sebulan.
Apa yang terjadi kemudian? Pada bulan keempat majikan tadi menelepon polisi mengatakan di rumahnya ada imigran gelap. TKI ditangkap karena memang tidak mempunyai paspor dan calling visa sebagai bukti panggilan kerja. Majikan tidak membayar TKI. Dia kembali ‘membeli’ TKI dari agency, begitu seterusnya.
Kalau, tim advokasi, mau membela TKI tadi, dari sudut mana yang bisa diperkarakan? TKI tadi tidak mempunyai ikatan kerja resmi. Ketika ditangkap tidak mempunyai paspor sehingga termasuk imigran gelap. Nama dan alamat majikannya pun tidak diketahuinya.
Jadi, yang diperlukan adalah perlidungan yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat antara majikan dan TKI dalam bentuk tertulis yang diketahui KBRI setempat.
Dampak buruk dari pemerkosaan dan ‘memperistri’ TKW adalah tertular HIV/AIDS. Di beberapa daerah pemasok TKW sudah terdeteksi HIV/AIDS pada TKW yang baru pulang dari luar negeri. Soalnya, di beberapa negara tujuan TKI prevalenasi HIV/AIDS sangat tinggi sehingga risiko tertular HIV jika diperkosa atau dijadikan ‘istri’ akan besar. Seperti yang terjadi di Kab Majalengka, Jabar, misalnya, enam TKW yang baru pulang dari Arab Saudi terdeteksi HIV-positif (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2011/06/19/aids-di-majalengka-jawa-barat-terdeteksi-pada-tkw-yang-dipulangkan-dari-arab-saudi/).
Bahkan, di NTB ada wacana mewajibkan tes HIV kepada TKW yang baru pulang. Tentu ini reaksi yang berlebihan karena panik sehingga cara yang dilakukan pun tidak lagi rasional karena cara itu diskriminatif (Lihat: http://regional.kompasiana.com/2011/06/15/diskriminatif-tes-hiv-khusus-untuk-tkw-di-prov-ntb/).
Maka, beban TKW tambah berat, tapi instansi yang terkait dengan TKI sama sekali tidak memberikan bekal yang konkret kepada TKI terkait dengan upaya melindungi diri agar tidak tertular HIV.
Kita tunggu, apakah Pemerintah Indonesia bisa menekan Arab Saudi dan negara-negara lain untuk membuat employee agreement secara tertulis. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H