* PSK jadi ’sasaran tembak’ tembak sedangkan laki-laki penyebar HIV lolos dari pantauan sebagai mata rantai penyebar HIV/AIDS di masyarakat
Jumlah pekerja seks komersial (PSK) yang ‘beroperasi’ di wilayah Prov Banten dipublikasikan oleh Komisi Penanggulangan AIDS (KPAD) Prov Banten sebanyak 2.408, sebanyak40 persen di antaanya berusia antara 16 – 20 tahun (40 Persen PSK Berusia Belia. 1.237 Pelacur Terdata di Kabupaten Tangerang, www.jpnn.com, 1/3-2012).
Berita ini hanya mem-blow-up keberadaan PSK dengan usia belia dijadikan sebagai sensasi. Padahal, persoalan utama adalah risiko penyebaran HIV/AIDS terkait dengan keberadaan PSK. Data terakhir menunjukkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Prov Banten sudah mencapai 2.116.
Tidak dijelaskan apakah 2.408 PSK itu merupakan PSK langsung yaitu PSK yang mangkal di lokasi atau lokalisasi pelacuran. Di Kota Tangerang dan Kota Cilegon PSK didominasi oleh PSK tidak langsung, seperti ‘cewek biliar’, ‘cewek disko’, ‘cewek pub’, dll.
Di Kota Cilegon penyebaran HIV/AIDS didorong oleh PSK tidak langsung (Syaiful W. Harahap, Harian “Banten Raya Pos”, 1/12-2011). Di Kota Tangerang juga yang lebih banyak beroperasi adalah PSK tidak langsung. Seorang pendamping dan penjangkau PSK di Kota Tangerang mendampingi lebih dari 100 PSK dan waria. Angka ini belum termasuk PSK dan waria yang tidak dijangkau.
Maka, melihat peta sebaran PSK yang dipublikasikan KPA Banten menunjukkan risiko penyebaran HIV sudah merata di wilayah Prov Banten (Lihat Tabel).
Celakanya, tidak ada program konkret untuk menanggulangi penularan HIV pada praktek pelacuran di Banten. Dalam Perda AIDS Prov Banten pun tidak ada pasal yang konkret untuk mencegah penularan HIV dari laki-laki ’hidung belang’ ke PSK dan dari PSK ke laki-laki ’hidung belang’ (Lihat: http://edukasi.kompasiana.com/2011/05/05/perda-aids-prov-banten-menanggulangi-aids-dengan-pasal-pasal-normatif/).
Disebutkan dalam berita ” .... faktor yang menyebabkan mereka menjadi PSK sebagian besar karena faktor ekonomi, sosial dan pendidikan.” Ini alasan klise yang tidak menggambarkan realitas praktek pelacuran.
Pelacur-pelacur kelas tinggi justru berpendidikan tinggi. Dalam surat seorang pejabat di Sulawesi Selatan kepada penulis sebagai pengasuh rubrik ’Tanya-Jawab AIDS’ di sebuah harian di sana pejabat itu mengatakan dirinya tidak berisiko tertular HIV. Koq bisa? ”Ceweknya mulus, cantik, berpendidikan tinggi, sarjana, dan ’main’ di hotel berbintang.” Padahal, sebelum kencan dengan pejabat itu cewek berpendidikan tinggi itu sudah meladeni banyak laki-laki.
Lagi-lagi yang dilakukan selalu menyalahkan PSK karena merekalah ’sasaran tembak’ yang empuk. Lihat saja pernyataan ini: ”Fenomena maraknya pelacur pada usia dini itu bisa menciptakan situasi epidemi HIV/AIDS. Hal itu disebabkan, antara lain dikarenakan pengetahuan para PSK muda ini akan HIV/AIDS sangat minim.”
Mengapaselalu PSK yang disalahkan terkait dengan penyebaran HIV? Padahal, ada fakta yang luput dari perhatian.
Pertama, ada kemungkinan yang menularkan HIV kepada PSK belia itu justru laki-laki dewasa penduduk Banten. Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki dewasa ini bisa seorang suami. Maka, tidak mengherankan kalau kemudian ada ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV, yang pada gilirannya juga terdeteksi pada anak yang mereka lahirkan.
Kedua, PSK belia yang sudah tertular HIV itu pun kemudian menularkan HIV kepada laki-laki dewasa yang mengencani mereka tanpa kondom. Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki dewasa ini bisa seorang suami. Maka, tidak mengherankan kalau kemudian ada ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV, yang pada gilirannya juga terdeteksi pada anak yang mereka lahirkan
Dua fakta itu diabaikan agar PSK yang jadi ’sasaran tembak’. Selama cara pandang tetap seperti ini, maka penyebaran HIV/AIDS di Banten akan terus terjadi.
Soalnya, Pemprov Banten seperti yang ditunjukkan pada Perda AIDS sama sekali mengabaikan praktek pelacuan yang melibatkan laki-laki dewasa penduduk Banten. Dikesankan dalam perda itu tidak ada praktek pelacuran di Baten. Maka, program penanggulangan pada praktek pelacuran dengan sosialisasi kondom pun tidak ada.
Disebutkan lagi: ”Terkadang, PSK belia ini tidak segan-segan melayani tamunya tanpa menggunakan pengaman (kondom, Red).”
Nah, mengapa bukan laki-laki ’hidung belang’ yang dipersalahkan? Secara faktual posisi tawar PSK sangat rendah dalam hal memaksa laki-laki memakai kondom. Ini terjadi karena tidak ada regulasi yang melindungi PSK agar posisi tawar mereka kuat untuk memaksa laki-laki memakai kondom.
Kalau saja fenomena penyebaran HIV/AIDS terkait dengan pelacuran dilihat dengan paradigma terbalik, maka yang perlu dipublikasikan adalah jumlah laki-laki ’hidung belang’ yang menjadi pelanggan PSK. Usia dan status pernikahan laki-laki ’hidung belang’ akan memberikan gambaran yang ril terkait dengan penyebaran HIV di Banten.
Penulis menerima lebih 100 SMS dari berbagai kalangan, terutama pelajar dan mahasiswa, di Banten terkait dengan HIV/AIDS. Begitu juga telepon yang masuk ketika talk show di CarlitaTV Pandeglang dan radio RSPD Serang pertanyaan juga amat mendasar. Yang mereka tanya adalah informasi dasar tentang HIV/AIDS. Ini menunjukkan penyebaran informasi HIV/AIDS yang akurat tidak merata di wilayah Prov Banten.
Disebutkan pula: ” .... sayangnya KPA Provinsi Banten tidak mengetahui secara pasti apakah kedua orangtua PSK usia dini itu mengetahui pekerjaan anaknya atau tidak.” Yang menjadi persoalan adalah risiko yang dihadapi PSK belia itu terkait dengan HIV/AIDS. Lalu, apakah kalau PSK yang tidak belia tidak perlu dipertanyakan apakah orang tua mereka mengetahui pekerjaan mereka?
Menurut Kabid Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL), Dinas Kesehatan (Dinkes) Prov Banten, Didin Wahyudin: ” .... penularan HIV selain terjadi karena jarum suntik atau pengguna narkoba tren pergaulan kalangan remaja di provinsi yang dipimpin Ratu Atut Chosiyah itu memang kian memprihatinkan.”
Tidak bisa dibuktikan apakah benar penyalahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya)dengan jarum suntik secara bergantian tertular melalui jarum suntik karena ada di antara mereka yang melakukan hubungan seksual yang tidak memakai kondom sebelum dan selama menyuntikkan narkoba. Jarum suntik hanyalah perkiraan sebagai media penularan.
Jika hanya PSK belia yang menjadi ’sasaran tembak’ terkait dengan penanggulangan HIV, maka selama itu pula penyebaran HIV akan terus terjadi di wilayah Banten. Tinggal menunggu hari saja untuk ’panen AIDS’. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H