[caption id="attachment_181654" align="aligncenter" width="620" caption="Seorang anak SD Angkasa IX tengah membaca Lembar Kerja Siswa (LKS) Ceria. Buku tersebut terdapat cerita "istri simpanan" yang dianggap tidak relevan bagi anak-anak. (Kompas.com/Fabian Januarius Kuwado)"][/caption]
* Materi pelajaran SD/MI dengan jalan pikiran (moral) dewasa
“Akhirnya Bang Maman meminta bantuan kepada Patme supaya berpura-pura menjadi istri simpanan Salim.” Ini kalimat dalam cerita ’Bang Maman dari Kali Pasir’ di buku LKS (Lembar Kerja Siswa) ’Ceria’ (Cermat Siswa Aktif) sebagai materi Pendidikan Lingkungan dan Budaya Jakarta untuk kelas 2 SD/MI. LKS ini terbitan CV Media Kreasi.
Di buku yang sama dengan penerbit yang lain pun tidak menyebutkan ’istri simpanan’.
Maka, tim penulis CV Media Kreasi saja yang ngeres mengartikan ’mengaku sebagai istri’ menjadi ’istri simpanan’. Kesimpulan yang dibuat Media Kreasi ini jelas tidak faktual karena tidak sesuai dengan fakta.
Fakta dalam cerita itu Patme diminta oleh Salim berpura-pura menjadi istrinya. Bukan sebagai istri simpanan.
Istri simpanan adalah perempuan yang dinikahi oleh laki-laki beristri tapi tidak sembunyikan agar istri tidak mengetahuinya.
Cerita ini merupakan gambaran perilaku di masyarakat pada komunitas tertentu. Cerita merupakan deskrispi, tapi mengapa penulis Media Kreasi kemudian membuat kesimpulan?
Agaknya, penulis di Media Kreasi memakai moralitas dewasa karena di dunia dewasa dikenal ’istri simpanan’. Nah, penulis itu memakai moralitas dirinya untuk menyampaikan informasi kepada anak-anak sehingga tidak dalam bentuk deskripsi tapi kesimpulan atau penilian dirinya sendiri.
Cerita itu layak untuk anak-anak karena menggambar perilaku (buruk). Buku itu cacat hanya karena ada istilah ’istri simpanan’ pada buku terbitan Media Kreasi.
Sayangnya, pada bagian latihan tidak ada kegiatan untuk mendiskusikan perilaku tokoh-tokoh cerita itu. Kalau saja anak-anak diajak memberikan pendapat tentang perilaku tokoh-tokoh cerita, maka buku itu sangat bermanfaat karena mengajak anak-anak melihat fakta sebagai realitas sosial dalam kehidupan sehari-hari di komunitasnya.
Agaknya, ada yang perlu dibenahi pada materi muatan lokal (mulok) karena terkesan materinya hanya tentang yang baik-baik saja.
Ketika anak-anak itu remaja dan kemudian dewasa mereka akan menghadapi masalah di masyarakat karena yang mereka tidak pernah mempelajari gambaran perilaku sebagian orang di masyarakat.
Mulok pun mengentalkan daerahisme yang bisa mendorong anak-anak memahami budaya dan masyarakat secara sempit. Kondisinya kian buruk kalau mulok dibumbui dengan agama.
Pada gilirannya sikap itu akan menimbulkan perilaku yang ekstrim jika berhadapan dengan budaya atau masyarakat lain dengan latar belakang agama yang berbeda.
Akan lebih arif kalau mulok merupakan pelajaran budaya nasional dengan penekanan ke budaya lokal sehingga ada gambaran yang utuh tentang kehidupan masyarakat yang berbudaya universal. ***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H