Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Bukan Memindahkan Ibu Kota Negara Tapi Menyebarkan Kegiatan Pemerintahan dan Ekonomi serta Industri

8 Mei 2017   06:30 Diperbarui: 9 Juni 2024   15:41 753
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Lalu lintas di Bundaran HI, Jakarta Pusat (Sumber: Tribun Kaltim – Tribunnews.com)

Hiruk-pikuk pemindahan Ibu Kota Negara disebut-sebut sejak era Presiden Soekarno, tapi yang terlihat secara fisik baru di era Presiden Soeharto ketika tanah rakyat di Kecamatan Jonggol, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, sekitar 40 kilometer arah tenggara Jakarta dipatok-patok. Akibatnya, memicu masalah terkait dengan jual-beli tanah. “Proyek” ini gagal seiring dengan kejatuhan pemerintahan Soeharto pada 21 Mei 1998.

Wacana berlanjut di era pemerintahan SBY. Tidak memindahkan ibu kota, tapi memperluas Jakarta sebagi ibu kota dengan julukan “The Greater Jakarta” yang mencakup Jabodetabek sampai Sukabumi dan Purwakarta. SBY juga mengajukan tiga opsi yaitu Jakarta tetap ibu kota sebagai pusat pemerinahan dan pusat bisnis, membangun kota baru, serta Jakarta tetap ibu kota tapi memindahkan kegiatan pemerintahan ke kota lain. Ini juga sebatas angan-angan karena persoalan bangsa tidak hanya menyangkut pemindahan ibu kota.

Angkutan Massal

Presiden Jokowi tidak mau ketinggalan. Dengan memaknai usul Presiden Soekarno yaitu pindah ke Kota Palangkaraya di Kalimantan Tengah. Kota ini dipilih karena luas, strategis dan relatif aman dari bencana alam.

Dengan eksploitasi hutan dan tambang yang sangat tinggi di Kalimantan, apakah Kota Palangkaraya bisa dikategorikan aman?

Tidak juga. Soalnya, kondisi alam sudah berubah karena eksploitasi hutandan tambang secara besar-besaran. Banjir bandang jadi ancaman terbesar karenahutan sudah diganti dengan tanaman kelapa sawit. Kualitas dan potensi air tanahpun terganggu karena sawit tidak menahan air hujan bahkan menyedot air tanah.Aktivitas pemerintahan, bisnis, industri dan pariwisata membutuhkan air bersihyang banyak.

Selain membutuhkan dana yang sangat besar posisi Palangkaraya juga tidak strategis secara nasional jika dibandingkan dengan kota-kota di Pulau Jawa.

Persoalan sosial juga akan muncul karena penduduk di sana masih pada taraf hemogen dengan kebudayaan dan religi yang khas. Dengan membawa puluhan kementerian tentulah proporsi warga akan banyak sehingga muncul heterogenitas. Friksi-friksi sosial akan muncul apalagi dihadapkan dengan kebiasaan beberapa suku yang sudah sangat ekstrovert dan terbiasa dengan masalah-masalah sosial yang terkait dengan norma dan moral.

Beberapa negara di dunia, seperti Amerika Serikat dan Australia, memisahkan ibu kota negara dengan pusat bisnis. Di AS pemerintahan dipusatkan di Washington DC sedangkan kegiatan ekonomi di New York. Pusat pemerintahan Australia di Canberra sedangkan bisnis di Melbourne. Bahkan, Malaysia pun membangun pusat pemerintahan di Shah Alam yang tidak jauh dari Kuala Lumpur.

Kalau pemindahan ibu kota dikaitkan dengan menghindari kemacetan tentulah tidak pas karena semua kota besar di dunia ini selalu diwarnai dengan kemacetan. Lagi pula kalau kelak ibu kota pindah ke kota lain tentu saja kegiatan pemerintahan akan menimbulkan kemacetan juga. Soal kemacetan bukan karena tidak ada pertambahan jalan raya, tapi karena semua menuju satu titik sehingga terjadi kemacetan di titik-titik tertentu. Ibarat leher botol yang keluar dari dalam botol akan berdesakan di leher botol. Bank Dunia pernah merilis hasil studi bahwa kota dengan penduduk lebih dari 1 juta, maka transportasi hanya bisa diandalkan dengan angkutan massal bebas hambatan.

Maka, di kota-kota besar di dunia kemacetan bukan diatasi, tapi dibangun sarana transportasi yang massal dan bebas macet yaitu mass rapid transit (MRT) yakni kereta listrik di bawah permukaan tanah (subway) atau kereta layang (light rapid transit/LRT). Jadi, bukan menambah lebar atau panjang jalan raya seperti diusulkan pengamat dalam talk show di televisi. Yang diperlukan bukan mengatasi kemacetan, tapi menyediakan pilihan (opsi) yaitu MRT dan LRT.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun