Suara takbir berkumandang dari corong TOA di masjid dekat rumah kontrakan di bilangan Petak Panjang, Pisangan Lama III, Jakarta Timur. Maklum, esoknya lebaran haji.
Orang-orang menenteng rantang dan menjinjing ketupat sebagai antaran ke orang tua, famili dan handai tolan. Ini kebiasaan yang sudah turun-temurun. Ketika itu lebaran haji tahun 2006.
“Pak, Pak, .....” Itu teriakan Oneng, pembantu di rumah.
Tidak biasanya Oneng berteriak keras. Saya pun bergegas ke arah Oneng.
Mulutnya terkunci. Matanya membelalak. Telunjuknya menunjuk ke lantai keramik di depan pintu masuk rumah kontrakan.
Ada apa gerangan?
Astaga. Di teras di depan pintu depan itu bergelimpangan belatung (KBBI: ulat kecil-kecil yg terdapat pd bangkai dsb yg telah busuk; bernga). Untung saja ada beda tinggi antara teras dan lantai rumah sehingga belatung sulit naik untuk masuk ke rumah.
”Hati-hati, Pak, jangan kena tangan dan jangan sampai masuk rumah.” Itulah jawaban Pak Misbah melalui telepon dari Cilegon, Banten. Pak Misbah adalah salah satu di antara tujuh orang yang selalu membantu saya menghadapi kiriman-kiriman gaib.
Lantai teras di depan pintu masuk itu terbuat dari keramik. Tentu saja tidak masuk akal kalau belatung bisa menyembul dari keramik. Tapi, itulah yang terjadi.
Belatung itu mulai dilihat Oneng lepas asyar. Yang kami kerjakan, saya, putri saya dan dua pembantu adalah menyapu belatung kemudian dibakar dan dibuang ke got. Itu kami lakukan sampai malam hari agar belatung tidak masuk ke dalam rumah.
Saya dan putri saya menjadi sasaran kiriman santet sejak tahun 1996 karena sudah ‘didaftarkan’ sebagai tumbal atau wadal untuk pesugihan oleh orang yang memelihara buto ijo. Saya korban nomor 10 sedangkan putri saya korban nomor 9. Keluarga yang memelihara buto ijo itu ‘menyiapkan’ 17 tumbal dan waktu itu yang sudah ‘diserahkan’ delapan.