Apa, sih, beda Oshin dengan sinetron dan film televisi(FTV) nasional?
Pertanyaan di atas sangat menggelitik karena ada perbedaan yang sangat mendasar antara Oshin dengan sinetron dan FTV nasional.
Tayangan sinetron dan FTV nasional situasi atau realitas sosial hanya digambarkan berurai air mata, tangisan, caci-maki, ejekan, pertengkaran, marah-marah, kekerasan terhadap anak yatim, dst.
Film seri “Oshin” diproduksi oleh stasiun televisi “NHK”, Jepang, yang ditayangkan sejak 4 April1983 sampai 31 Maret1984. Di Indonesia Oshin ditayangkan oleh TVRI.
Nama pemeran utama pada film serial televisi ini juga bernama Oshin. Film ini merupakan kisah kehidupan Shin Tanokura (Tanokura Shin) di masa Meiji sampai awal tahun 1980-an.
Perjalanan hidup Oshin yang keras sejak kecil sampai dewasa, bahkan menjadi pembantu rumah tangga sampai akhirnya menjadi orang kaya, dimaksudkan sebagai gambaran nyata kehidupan sebagai rakyat Jepang di masa lalu. Hal ini diharapkan bisa memberikan pemahaman kepada generasi muda.
Biar pun perjalanan hidup Oshin penuh dengan duka lara, tapi sama sekali tidak ada cucuran air mata.
Sebaliknya, yang meneteskan air mata justru penonton.
Koq bisa?
Ketika Oshin kecil dimarahi majikannya, gadis itu hanya tersenyum. Pada saat itulah penonton merasakan kepedihan yang dialami Oshin. Hal ini terjadi karena kondisi merupakan realitas sosial yang ada di sekitar kita.
Banyak perempuan yang senasib dengan Oshin tidak bisa berbuat banyak karena dikungkung oleh majikan, yang juga saja (anggota) keluarga atau ibu tiri.
Nah, sebaliknya pada sinetron dan FTV nasional ketika pemeran menangis meraung-raung atau berurai air mata penonton malah tertawa terpingkal-pingkal.
Satu hal yang luput dari perhatian pembuat sinetron dan FTV nasional adalah bahwa kepedihan, kesedihan, dll. tidak harus ditunjukkan dengan tangisan, apalagi meraung-raung, dan tetesan air mata.
Begitu pula dengan sinetron keagamaan yang hanya menonjolkan simbol-simbol fisik agama yang merupakan bagian dari ibadah vertikal.
Menggambarkan sesuatau dengan suasana dan mimik pemeran justru lebih dalam masuk ke penonton karena mereka akan hanyut dalam kondisi tsb.
Dalam jurnalistik dikenal istilah deskripsi yaitu memotret sesuatu, seperti benda, sosok, dan situasai, dengan kata-kata.
Nah, kalau saja sinetron dan FTV memakai deskripsi dalam menggambarkan situasi yang akan ditampilkan tentulah tidak harus dengan tangisan yang meraung-raung, air mata yang berurai, marah-marah, teriak-teriak, dst.
Hal yang sama juga terjadi pada lawakan. Yang tertawa justru pemain lawakan itu atau penonton yang dibayar datang ke studio.
Film “Naga Bonar”, misalnya, sama sekali tidak diperankan oleh pelawak (Dedy Mizwar), tapi ceritanya membuat penonton tertawa.
Atau film “Mid Night Run” (Robert de Niro). Bintang ini bukan badut, tapi film itu benar-benar lucu.
Ya, lawakan dan acara-cara hiburan di televisi kita hanya berisi tingkah polah kedunguan: kecatatan tubuh, cara bicara yang dibuat-buat, cemoohan, dll.
Tapi, itulah gambaran ril kemampuan mereka dalam mengemas cerita dan lawakan yang sebagian besar sama sekali tidak mencerahkan.***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H