Jika bertolak dari pemberitaan di media massa, terutama televisi, dikesankan air yang menerjang Kota Manado, Sulut (15/1-2014), sebagai banjir bandang (aliran air yang besar dan deras) yang terjadi hanya karena hujan lebat yang turun terus-menerus.
Air bah dibawa oleh Sungai Tondano yang berhulu di Danau Tondano. Jarak jalan raya antara Kota Manado dan Danau Tondano 33 km. Sedangkan panjang Sungai Tondano dari danau sampai Kota Manado yang berbatasan dengan Laut Sulawesi adalah 39,9km.
Jika melihat volume air bah pada banjir bandang itu, maka itu artinya air hujan berkumpul dulu di satu tempat di daerah aliran sungai (DAS) Sungai Tondano.
Jika di sepanjang DAS tidak ada bendungan atau dam, maka kemungkinan air bah itu keluar dari Danau Tondano.
DAS Danau Tondano luasnya 54.775 ha terletak di Kabupaten Minahasa dan Kota Manado. Itu artinya Kota Manado merupakan DAS Sungai Tondano sehingga tidak layak sebagai permukiman.
Sungai Tondano melewati 11 kecamatan yang terdiri atas 146 desa dan kelurahan di wilayah Kab Minahasa, serta 4 kecamatan di wilayah Kota Manado.
Sensus Tahun 2000 menunjukkan jumlah penduduk di DAS Tondano 338.000 yang bermukim di Kab Minahas 195.000 dan 143.000 di Kota Manado.
Penggunaan lahan di DAS Tondano hanya menyisakan sedikit hutan dan lahan terbuka (Lihat Tabel 1).
Kerusakan alam di sepanjang DAS Sungai Tondano sangat beralasan karena 60 persen penduduk di DAS yang masuk wilayah Kab Minahasa bekerja sebagai petani sehingga mereka merambah hutan untuk dimanfaatkan sebagai areal pertanian untuk perkebunan dan perladangan palawija.
Wilayah DAS, terutama di Kab Minahasa, ditanami dengan cengkeh dan kelapa yang tidak bisa menyerap air hujan. Tangkapan daun cengkeh dan daun kepala serta akar-akar tanaman tsb. tidak efektif mengalirkan air hujan ke dalam tanah. Akibatnya, air hujan menjadi air permukaan (run off) yang menggerus permukaan tanah yang justru meningkatkan erosi dan mendangkalkan danau dan sungai.
Pola tani yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah dalam konservasi lahan meningkatkan sedimentasi di danau dan sungai yang berdampak pada kemampuan danau dan sungai menampung air hujan.
Tapi, mengapa air tiba-tiba mengalir dengan volume yang besar?
Daya tampung Danau Tondano yang menyusut karena pendangkalan dan permukiman di sepanjang garis pantai danau.
Garis pantai danau pun berubah karena daratan menjorok ke danau. Ini terjadi al. karena pendangkalan dan dipakai penduduk untuk pemukiman dan perladangan (Lihat Gambar 1).
Maka, ketika turun hujan lebat di sekitar Danau Tondano air permukaan pun yang masuk ke danau langsung mengalir lagi ke laut melalui Sungai Tondano.
Air hujan yang turun di sekitar danau langsung mengalir sebagai air permukaan ke danau karena kondisi di sekitar danau gundul. Tidak ada lagi pohon-pohon besar karena lahan dipakai untuk pertanian palawija (Lihat Gambar 2).
Kondisi lahan di seputar danau yang gundul membuat air hujan tidak meresap ke dalam tanah sehingga air hujan langsung mengalir sebagai air permukaan ke danau.
Di sepanjang aliran sungai pun terjadi penyempitan karena permukiman penduduk. Ini membuat aliran air permukaan dari danau tertahan-tahan sehingga volumenya meningkat (Lihat Gambar 3).
Ketika volume air yang terhalang besar, maka aliran air permukaan di sungai pun menerjang penghalang dan mengalir deras ke Kota Manado sebagai dataran rendah.
Celakanya, bibir pantai di sepanjang Kota Manado direklamasi (menimbun laut dengan tanah dan batu untuk menambah luas daratan). Ini membuat pantai tidak landai lagi sehingga hempasan ombak tertahan di bangunan.
Selama DAS Tondano tidak ditangani dengan pijakan prinsip-prinsip konservasi lingkungan, maka selama itu pula air bah akan terus menerjang Kota Manado sebagai banjir bandang (dari berbagai sumber).***[Syaiful W. Harahap]***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H