Dalam berita dan pernyataan langsung SBY terkait dengan talkshow berupa wawancara live Antasari Azhar di Metro TV, Selasa (14/2-2016), inti persoalan dikaburkan dan melebar ke sana sini. Kunci polemik hukum antara SBY dan Antasari Azhar, mantan Ketua KPK yang dijebloskan ke penjara di masa pemerintah SBY karena dakwaan pembunuhan, adalah Hary Tanoesoedibjo atau Hary Tanoe.
Antasari sampai pada pernyataan bahwa SBY, presiden RI ke-6, melakukan intervensi hukum terkait dengan proses hukum yang dijalani besannya, Aulia Pohan, waktu itu salah seorang direktur di Bank Indonesia (BI), karena Antasari didatangai oleh HT yang ‘membawa’ pesan SBY. HT, seperti dikatakan Antasari, bernada mengangancam jika Aulia Pohan ditahan KPK.
Nah, itu ‘kan sudah jelas. Terang-benderang. Kalau memang SBY atau orang-orang di sekitar SBY tidak mengutus HT, maka langkah pertama yang harus dilakukan SBY adalah melaporkan HT ke Bareskrim Polri karena sudah melakukan perbuatan yang melawan hukum yaitu mengatasnamakan SBY tanpa izin.
Sayang, baik dalam berita maupun penjelasan langsung SBY yang mereka sebut konferensi pers, padahal tidak ada tanya-jawab sebagai mana konferensi pers yang baku, sama sekali tidak menyinggung kedatangan HT ke Antasari.
SBY sebenarnya bisa di atas angin dan memenangkan ‘duel’ dengan Antasari jika kubu SBY bisa membuktikan bahwa kedatangan HT ke Antasari sebagai Ketua KPK saat itu bukan diutus atau disuruh kubu SBY. Gagang pisau ada di kubu SBY.
Tapi, mengapa pengacara SBY justru melaporkan Antasari ke Bareskrim Polri?
Ini yang jadi tanda tanya besar karena Antasari berbicara atas dasar fakta yaitu HT ‘menekan’ dia sebagai Ketua KPK agar tidak semena-mena terhadap Aulia Pohan yang merupakan besan SBY.
Soalnya, kalau kubu SBY tidak menyuruh atau mengutus HT ketemu dengan Antasari, maka itu artinua HT sengaja menjerumuskan SBY sebagai seorang presiden yang melakukan intervensi terhadap proses hukum positif.
Alih-alih mau berjalan di koridor hukum, dalam cuitannya SBY justru menebar fitnah kepada Presiden RI Joko Widodo (Jokowi). Ini cuitan SBY:  “Yg saya perkirakan terjadi. Nampaknya grasi kpd Antasari punya motif politik & ada misi utk serang & diskreditkan saya (SBY)."(tribunnews.com, 14/2-2017).
Dalam cuitan ini SBY sudah membuat penafsiran yang tidak berdasarkan fakta sehingga hal itu masuk ranah fitnah karena tidak ada bukti hukum yang disampaikan SBY dalam cuitannya. Di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan fitnah adalah perkataan bohong atau tanpa berdasarkan kebenaran yang disebarkan dengan maksud menjelekkan orang (seperti menodai nama baik, merugikan kehormatan orang).
Kalau saja SBY berpikir lebih bijaksana sebagai negarawan yang dua kali terpilih sebagai presiden, maka tidaklah pantas seorang SBY melemparkan cuitan di atas karena pada masa kepemimpinannya dia sendiri memberikan grasi kepada seorang perempuan WN Australia yang mendekam di penjara sebagai terpidana narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya). Ketika itu Indonesia dan dunia sedang gencar-gencarnya memerangi peredaran dan perdagangan gelap serta penyalahgunaan narkoba. Dengan grasi yang diberikan Presiden SBY kepada Schapelle Corby, maka hukuman Corby pun dikurangi dari 20 tahun menjadi 15 tahun penjara.