Mohon tunggu...
Syaiful W. HARAHAP
Syaiful W. HARAHAP Mohon Tunggu... Blogger - Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Aktivis LSM (media watch), peminat masalah sosial kemasyarakatan, dan pemerhati (berita) HIV/AIDS

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Angka Fantastis Kasus HIV di Provinsi Bengkulu

18 Desember 2010   03:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:38 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

3.000 Penduduk Bengkulu terkena HIV/AIDS.”. Ini judul berita di “Harian Terbit”, Jakarta (6/12-2010). Disebutkan: “Sekitar 3.000 orang warga Provinsi Bengkulu terinfeksi kuman Immunodefisiency Virus atau HIV, dan itu meningkat dari tahun 2003 yang tercatat 2.000 kasus.”

HIV tergolong virus bukan kuman. HIV adalah virus yang menyebabkan kondisi AIDS setelah tertular antara 5-15 tahun.

Angka yang diberitakan itu tentu mengundang pertanyaan karena data Dinas Kesehatan dari tahun 2000-2010 dilaporkan sebanyak 231 kasus. Biar pun epidemi HIV terkait dengan fenomena gunung es yaitu kasus yang terdeteksi hanya sebagian kecil (puncak dari gunung es yang mencuat ke permukaan laut), sedangkan kasus yang tidak terdeteksi ada di bawah permukaan laut. Tapi tidak ada rumus yang baku yang bisa dipakai untuk menghitung kasus yang tidak terdeteksi berdasarkan kasus yang terdeteksi.

Maka, patut dipertanyakan dari mana angka 3.000 yang dipublikasikan. Jika angka ini benar tentulah merupakan masalah besar bagi Pemprov Bengkulu karena beberapa tahun lagi mereka akan masuk masa AIDS sehingga diperlukan biaya besar untuk pengobatan. Antara lain membeli obat antriretroviral (ARV), perawatan dan obat infeksi oportunistik yang muncul pada masa AIDS.


Arna Mareta, Sekretaris Komisi Pemberantasan Aids (KPA) Provinsi Bengkulu, mengatakan: “Meningkatnya penularan penyakit itu akibat penderitanya enggan berobat ke dinas kesehatan terdekat.” Ini tidak akurat karena fakta menunjukkan lebih dari 90 persen kasus terjadi tanpa disadari. Maka, orang-orang yang tertular HIV pun tidak menyadari dirinya sudah mengidap HIV karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik mereka sebelum masa AIDS (antara 5-15 tahun setelah tertular HIV). Jadi, mereka bukan enggan berobat tapi tidak perlu berobat karena tidak ada penyakit yang khas AIDS pada diri mereka.

Pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan dengan cara kumulatif. Kasus lama ditambah kasus baru sehingga kasus HIV/AIDS tidak akan pernah turun biar pun penderitanya banyak yang meninggal.


Ada pula pernyataan: “ …. infeksi terbanyak dari kelompok populasi Wanita Penjaja Seks (WPS) dan penguna Napza. Golongan tersebut paling rentan karena kebiasanya kurang mengindahkan kesehatan.” Penggunaan kata WPS tidak tepat karena merendahkan harkat dan martabat perempuan. Yang tepat adalah pekerja seks komersial (PSK). PSK tidak pernah menjajakan seks (diri) karena yang mencari (mendatang) PSK justru laki-laki ‘hidung belang’.

Kasus HIV dan AIDS pada PSK terjadi karena ditularkan oleh laki-laki ‘hidung belang’. Laki-laki ini dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, pacar, selingkuhan, duda, lajang atau remaja. Penularan HIV kepada PSK bukan karena ‘kebiasanya kurang mengindahkan kesehatan’ tapi karena laki-laki ‘hidung belang’ tidak memakai kondom ketika sanggama dengan PSK.

Ada pula data dari LSM Komite Independen Penyampai Aspirasi (Kipas) yang menyebutkan pada periode 2000-2010 terdeteksi 487 kasus HIV/AIDS dengan infeksi tertinggi pada seks bebas dan pengguna Napza sebanyak 60 persen di usia remaja. Penggunaan ‘seks bebas’ tidak akurat karena kalau ‘seks bebas’ diartikan sebagai zina atau melacur maka tidak ada kaitan langsug antara zina dengan penularan HIV.

Penularan HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah jika salah satu dari pasnagan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama. Sebaliknya, kalau satu pasangan dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV biar pun hubungan seksual dilakukan di luar nikah, zina, melacur, dll.

Lagi pula yang menularkan HIV kepada PSK justru laki-laki ‘hidung belang’. Laki-laki inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal di masyarakat.

Yang perlu dilakukan Pemprov Bengkulu adalah meningkatkan penyuluhan dan memperbanyak Klinik VCT (tes HIV dengan konseling secara gratis) agar orang-orang yang sudah mengidap HIV mau menjalani tes HIV secara sukarela. Makin banyak kasus HIV dan AIDS yang terdeteksi maka kian banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputuskan.

Kasus-kasus HIV dan AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS di masa yang akan datang. Apakah Pemprov Bengkulu menunggu ledakan AIDS dulu baru menjalankan program penanggulangan yang konkret? Pilihan ada di tangan Pemprov Bengkulu. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun