*Tuntut Nelayan Tiongkok yang Merangkap Mata-mata dengan Pasal-pasal Anti-Subversif atau Keamanan Negara ....
“Status Tiongkok di LTS Ditentukan pada 12 Juli. Beijing Pastikan Tolak Putusan Mahkamah Arbitrase” Ini judul berita di Harian “KOMPAS” (1/7). Itu artinya Beijing akan memakai batas wilayah lautnya sesuai dengan nine dash line (dalam gambar garis putus-putus warna merah) sehingga mencaplok laut yang sudah masuk wilayah negara-negara: Vietnam, Malaysia, Singapura, Indonesia, Brunei, Filipina dan Taiwan.
Maka, langkah Presiden Joko Widodo yang memerintahkan segera dilakukan pembangunan industri perikanan dan pertahanan di Natuna merupakan jawaban yang jitu terhadap ancaman Tiongkok. Soalnya, dua pulua kita, Sipada dan Ligitan (dulu masuk wilayah Provinsi Kalimantan Timur) lepas ke Malayia melalui sidang Mahkamah Internasional (MI) dengan pertimbangan dua pulau itu dipelihara oleh Malaysia. Nah, kalau Natuna sudah kita pelihara kan tidak ada lagi alasan Beijing membawanya ke MI.
Terkait dengan Laut Tiongkok Selatan (LTS) Konvensi Hukum Laut PBB (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) tahun 1982 menentapkan batas negara-negara yang berbatasan langsung dengan Laut Tiongkok Selatan dengan garis putus-putus biru.
Tapi dengan klaim Beijing melalui garis merah putus-putus, maka Kepulauan Spratly akan masuk ke wilayah Tiongkok sehingga memicu benturan frontal dengan Filipina karena berdasarkan UNCLOSS dari batas pasang surut Kepulauan Spratly jelas masuk wilayah ZEE Filipina (garis putus-putus biru).
Laporan KOMPAS menyebutkan LTS merupakan urat nadi perdagangan internasional yang mencapai nilai rata-rata 5 triliun dolar AS setiap tahun. Selain itu pulau-pulau di LTS, seperti Kepulauan Spratly yang berdasarkan UNCLOS masuk wilayah Filipia, menjadi tempat yang sangat strategis dari aspek pertahanan.
Tapi, itu artinya Tiongkok berpikir dengan pijakan kepentingannya sendiri. Semua negara yang berbatasan langsung dengan LTS juga menjadikan laut itu sebagai bagian dari perekonomian dan pertahanan negaranya.
Rencana busuk Beijing untuk menguasai LTS dilakukan dengan terang-terangan, seperti ‘menantang’ Indonesia terkait dengan penangkapan nelayan. Tiongkok mengatakan nelayannya menangkap ikan di kawasan traditional fishing ground.
Padahal, kawasan traditional fishing ground merupakan kesepakatan antar negara. Selain itu nelayan yang menangkap ikan di kawasan itu pun adalah nelayan dengan perahu yang memakai jaring dan pancing.
Ternyata nelayan Tiongkok itu sudah dilatih sebagai mata-mata. Seperti dilaporkan oleh dw.com (27/6) Beijing melatih nelayannya menjadi milisi dan mata-mata. Para pelaut itu bertugas menjelajahi wilayah sengketa dan mengumpulkan informasi penting.